StatCounter

View My Stats

Jumat, 12 Juni 2009

TRANSFORMASI DUNIA PERPUSTAKAAN1

TRANSFORMASI DUNIA PERPUSTAKAAN1

Diao Ai Lie
Poskan Oleh : Darwanto S Sos

The perceived overabundance of information in 1860 is, of course, insignificant compared with
the figures from the 2000 study How much information? (www.sims.berkeley.edu/how-muchinfo/
summary.html) that the world’s total annual production of print, film, optical and magnetic
content would require the equivalent of 250 megabytes per person for every person on earth.
Print documents only account for a very small part of the total, but still include 65 million titles,
and 2.75 billion book sales a year. (Bundy, 2001)
Kutipan tersebut di atas memperlihatkan gambaran tentang era yang kita sedang hidupi
bersama sekarang ini dan yang akan lebih mencengangkan lagi di masa-masa
mendatang. Pemicunya adalah teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang juga
terus berkembang cepat.
ICT memungkinkan pekerjaan dilakukan tanpa atau dengan sedikit sekali campur
tangan manusia. ICT juga mempermudah dan mempercepat perekaman,
pengorganisasian, editing, penelusuran kembali, penyebaran, dan sharing, informasi
dan pengetahuan serta sumber-sumbernya (termasuk manusia) dalam bentuk multiformat:
tacit, explicit; teks, audio, video, audio-visual, dsb.; tanpa memandang bidang
ilmu dan kegiatan. Hal ini memacu terciptanya masyarakat pengetahuan (knowledge
society) yang demokratis. Siapa saja bisa mempunyai akses ke sumber-sumber
informasi dan pengetahuan, dan bisa dengan mudah mempublikasikan karyanya, di
Internet. Siapa saja tanpa memandang status sosial ekonominya bisa berpartisipasi
dalam suatu milis. Orang pun menjadi semakin mudah untuk melakukan multi-tasking
(beberapa tugas dalam waktu yang sama hanya melalui satu komputer). ICT juga
memudahkan orang untuk berpikir dan menuangkan gagasannya secara multi-format
dan non-linear. Kemampuan ICT ini juga meningkatkan percepatan cross-breeding
informasi dan pengetahuan yang bukan lagi dalam disiplin atau bidang kehidupan yang
sama, tetapi juga secara intra- dan bahkan inter-disiplin atau bidang kehidupan.
Sebagai akibat dari itu, masyarakat menempatkan informasi dan pengetahuan sebagai
asset yang terpenting untuk meraih sukses di segala bidang, bahkan untuk
mendapatkan waktu luang yang berkualitas. Itulah sebabnya kita mendengar istilahistilah
seperti information society, knowledge society, knowledge economy. Dalam
masyarakat informasi atau ekonomi berbasis pengetahuan, keunggulan masyarakat
atau kegiatan ekonomi ditentukan oleh sejauh mana suatu keputusan dan tindakan
diambil lebih berdasarkan pengetahuan daripada asset lainnya (seperti uang, energi,
teknologi, kekuasaan, dsb.).
Dengan perkataan lain, ledakan informasi dan pengetahuan serta kemajuan ICT,
kedudukan informasi dan pengetahuan dalam information society sebagai asset yang
1 Gabungan antara makalah yang disampaikan dalam Musyawarah Kerja Nasional II dan
Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang diselenggarakan
pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok; dan
makalah yang dipresentasikan dalam “Perpustakaan dan Layanan Informasi: Kebutuhan
Pengelola Perpustakaan-pengguna dan masyarakat (a Refreshment Training)” yang
diselenggarakan pada tanggal 3-4 Agustus 2004, di Bandung, kerjasama UPT Perpustakaan ITB
dan The British Council.
terpenting untuk meraih sukses di segala bidang, membuat semua pihak melakukan
transformasi, kalau tidak mau tertinggal. Perpustakaan sendiri akan diabaikan kalau
tidak dapat membantu pengguna lebih daripada kemampuan pengguna dalam
memanfaatkan ICT dan informasi.
Transformasi adalah perubahan yang bersifat struktural, secara bertahap, total, dan
tidak bisa dikembalikan lagi ke bentuk semula (irreversible) (Danabalan, 1999). Dalam
arti inilah transformasi perpustakaan dibicarakan, yaitu terutama dari segi fungsi dan
fasilitas. Sebagian dari hal ini sudah pernah ditulis dalam Diao (2003).
A. TRANSFORMASI FUNGSI
Konteks tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perpustakaan perlu melakukan
transformasi. Dari segi fungsi, perpustakaan harus berusaha memainkan peranan
penting dalam menambah nilai pada informasi dan juga pada perpustakaan itu sendiri,
kalau tidak mau dikesampingkan oleh pengguna yang semakin dimudahkan oleh ICT
dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Caranya yaitu dengan melakukan
streamlining, ekspansi, dan inovasi. Tabel berikut ini memperlihatkan perubahan
fungsi perpustakaan sebelum dan sesudah era Internet.
Tabel 1: Transformasi Fungsi Perpustakaan
Sebelum Internet Sesudah Internet
Memberikan multi-entry service atau
pelayanan yang terpisah untuk
pengadaan, pengolahan, transaksi
peminjaman, referensi, dsb.
Menyediakan one-stop service: multifunctional
librarians serving multi-tasking
customers
Mengumpulkan informasi dan
pengetahuan (umumnya tercetak) secara
lokal
Mengkoleksi dan menyediakan akses ke
informasi dan pengetahuan serta sumbersumbernya
yang tersebar di seluruh dunia,
dalam multi-format (termasuk tacit)
Menjaga koleksi dan akses informasi dan
pengetahuan
Menambah nilai pada informasi dan
pengetahuan (adding value)
Melayani individu atau kelompok tanpa
melihat potensi hubungannya dengan
individu atau kelompok lain
Melayani individu atau kelompok sebagai
anggota jaringan
Memberikan pelayanan di tempat (on site)
dan sebatas jam pelayanan
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
Manajemen informasi: memberikan
pelayanan sebatas akses informasi dan
pengetahuan
Manajemen pengetahuan: memberikan
pelayanan bervariasi dan dinamis meliputi
seluruh siklus pengetahuan (mulai dari
penciptaan, perekaman dan publikasi,
penyebaran, penggunaan, dan penciptaan
kembali, pengetahuan)
Memberikan pendidikan pemakai sebatas
mengenai pemanfaatan perpustakaan
(library skills and literacy)
Meningkatkan information skills and
literacy sedemikian rupa sehingga
pengguna dapat memanfaatkan ICT untuk
mengakses dan memanfaatkan informasi
secara kritis; serta merekam,
mempublikasi atau share, pengetahuan
dengan efisien.
Di samping saling berkaitan, fungsi-fungsi yang baru tersebut belum lengkap daftarnya,
karena perpustakaan dalam masyarakat pengetahuan dituntut untuk terus-menerus
melakukan inovasi dalam menangkap peluang untuk menambah nilai pada organisasi
maupun informasi dan pengetahuan yang ditanganinya. Berikut ini adalah uraian
tentang fungsi-fungsi yang baru.
Menyediakan One-stop service: multi-functional librarians serving multi-tasking
customers
ICT memungkinkan pustakawan dan pengguna untuk melakukan multi-tasking di
komputer yang sama. Pekerjaan tradisional perpustakaan (yaitu, akuisisi, pengolahan,
dan penyebaran informasi; dan juga pengelolaannya) dapat dilakukan melalui satu
komputer, dan dengan prosedur yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan kalau hal
itu dilakukan secara manual dan menyangkut bahan non-elektronik. Seorang
pustakawan bisa menerima pesanan untuk mencari informasi suatu topik, melakukan
pencarian di dalam dan luar perpustakaan tempat ia bekerja, memesan pada toko buku
dan/atau men’download’ dari Internet atau perpustakaan lain, mengolah informasi yang
didapatkannya, dan menyampaikannya pada si pemesan, tanpa harus berpindah
komputer apalagi melakukan perjalanan ke luar perpustakaan.
Pengguna juga dapat melakukan beberapa tugas sekaligus melalui sistem
perpustakaan. Waktu mencari suatu informasi, misalnya ‘gender’, dia bukan hanya bisa
mendapatkan sumber informasi non-personal, tetapi juga nama-nama pengguna yang
mempunyai keahlian di bidang ini. Kemudian dia bisa memilih dengan meng’klik’nya
dan berdiskusi dengan orang tersebut. Karya tulis yang dikerjakannya di komputer
tersebut dapat juga dia kirimkan ke orang-orang yang dia inginkan masukannya. Dia
juga bisa menaruh karya tersebut di database perpustakaan supaya bisa diberi
masukan oleh siapa saja. Selain itu, dia juga bisa mencek sudah sejauh mana pesanan
buku yang dia ajukan ke perpustakaan ditindaklanjuti, melihat menu makanan di kantin
universitas atau jadwal kereta api, dsb. Semuanya ini mudah dilakukan dengan bantuan
ICT.
Menyediakan Koleksi dan akses informasi dan pengetahuan dalam multi-format
Seperti diketahui informasi dan pengetahuan tersaji dalam pelbagai bentuk dan sumber.
Di samping teks dan cetakan, ada bahan-bahan multi-media, digital, hypertext, dsb.
Perpustakaan perlu menyediakan akses ke semua sumber tersebut, termasuk juga
pertemuan dan diskusi formal dan informal
Menambah nilai pada informasi dan pengetahuan (adding value)
Kebutuhan Informasi dan pengetahuan mempunyai konteks. Nilai informasi dan
pengetahuan ditentukan oleh sejauh mana informasi dan pengetahuan yang disajikan
sesuai dengan konteks seorang pengguna. Penyediaan akses informasi yang
disesuaikan dengan konteks dapat dilakukan melalui pelayanan personalised library,
konsultasi, berdasarkan profil pengguna dan informasi tentang tahap dan jadwal
kegiatan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan pengguna dalam kegiatan
perpustakaan (misalnya, menentukan kata kunci untuk suatu sumber, link ke suatu situs,
dsb.).
Nilai informasi juga bisa ditingkatkan dengan cara menyediakan akses hanya ke
sumber-sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya yaitu dengan, misalnya,
membuat portal atau pintu masuk ke sumber-sumber yang sudah diseleksi oleh
perpustakaan atau lembaga lain (misalnya: virtual libraries, subject-based gateways).
Nilai informasi juga meningkat bila diberikan pada waktu yang tepat, dan dapat
digunakan dengan mudah. Secara rinci Skyrme (2002) menyebutkan 10 aspek yang
dapat meningkatkan nilai informasi, yaitu, timeliness, accessibility, usability, utility,
quality, customised, medium, repackaging, flexibility, dan reusability.
Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
Kemajuan ICT memudahkan dan mendorong terjadinya kolaborasi di antara orangorang
dan kelompok-kelompok yang tidak saling kenal dan dipisahkan oleh jarak dan
waktu. Ini berarti, perpustakaan harus membantu individu dalam melakukan
pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan, yaitu dengan cara mendorong dan
menyediakan fasilitas untuk mereka terhubung, berbagi pengetahuan dan berkolaborasi,
dengan orang-orang di dalam dan luar kelompoknya.
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
Fasilitas perpustakaan digital dan Internet memungkinkan perpustakaan diakses dan
digunakan tanpa memandang waktu dan jarak. Hal ini akan menambah nilai pada
perpustakaan yang bersangkutan.
Manajemen pengetahuan
Siklus pengetahuan meliputi penciptaan, perekaman dan organisasi, penyebaran dan
akses, penggunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan. Selama
ini, perpustakaan (termasuk kajiannya) lebih banyak berfokus pada organisasi
(kataloging, dsb.) dan penyebaran (termasuk pencarian informasi). Di samping itu,
perpustakaan lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di luar pikiran
penciptanya. Padahal banyak pengetahuan yang masih ada dalam kepala (dan belum
pernah direkam dalam sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh
perpustakaan selama ini).
Untuk meningkatkan nilainya, perpustakaan harus memfasilitasi dan berpartisipasi pasif
maupun aktif dalam manajemen pengetahuan penggunanya. Caranya yaitu dengan
melakukan kegiatan dan meyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan
proses pengetahuan, misalnya menstimulasi terjadinya diskusi di perpustakaan maupun
di milis, merangkum dan membuat resensi diskusi-diskusi tersebut; membantu
pengguna untuk melakukan e-publishing, sharing, menyiapkan publikasi dalam pelbagai
format (misalnya, menyajikan hasil penelitian dalam bentuk film), mengelola file-file
elektroniknya; dsb.
Meningkatkan information skills and literacy
Kemajuan pesat ICT memungkinkan akses yang tidak terbatas ke sumber-sumber
informasi dan pengetahuan yang tidak semuanya terjamin mutunya. Hal ini dengan
sendirinya meningkatkan kebutuhan pengguna akan penguasaan ICT dan kemampuan
untuk mengakses (secara fisik dan intelektual), menseleksi, serta mengeksploitasi
informasi dan pengetahuan tersebut, sedemikian rupa sehingga membantu terciptanya
pengetahuan baru. Untuk itu perpustakaan perlu menyediakan training on site, online,
maupun offline untuk information literacy yang di dalamnya juga termasuk ICT literacy.
Topiknya meliputi kemampuan untuk mengenali informasi dan teknologi yang
dibutuhkan, membangun strategi untuk mencari dan menemukan hal tersebut,
mengevaluasi informasi dan sumbernya, mengorganisir dan menggunakannya
sehingga berguna untuk menciptakan pengetahuan baru, dan mengkomunikasikannya
(SCONUL seperti dikutip oleh Naibaho, 2004)
B. TRANSFORMASI FASILITAS
ICT
Untuk menjalankan fungsi baru tersebut di atas, perpustakaan perlu mengembangkan
fasilitas yang lebih dari sekedar perpustakaan digital, yaitu perpustakaan digital dengan
fasilitas untuk:
1. menghubungkan orang-orang yang bekerja dengan topik yang sama atau serupa
Untuk ini perlu dibuat fasilitas penghubung dengan para ahli yang ada di dalam
dan luar kampus, database ahli, dan fasilitas diskusi melalui milis, dan konsultasi
on-line atau liwat e-mail.
2. menghubungkan orang dengan informasi, yang terdapat di dalam dan luar
kampus
Di samping pangkalan data lokal, perpustakaan juga harus menyediakan links
dengan sumber-sumber di luar.
3. merekam (capture) jalannya dan hasil pertemuan (termasuk rapat, seminar,
kuliah, dsb.)
4. mempublikasi dalam pelbagai format (untuk ini diperlukan misalnya, software
untuk video editing, web development, dsb.)
5. meng’upload’ file multiformat bahkan sejak draft pertama, dan mendiskusikan
karya yang di’úpload’ tersebut
6. membuat perpustakaan digital pribadi, yaitu dengan fasilitas untuk membuat link
dengan sumber-sumber di dalam dan luar perpustakaan menurut kata-kata kunci
dan hubungan antar-kata kunci tersebut, yang ditentukan oleh pengguna sendiri
7. membuat modul-modul untuk training literacy skills secara on-line maupun offline
8. merekam semua transaksi yang pernah terjadi antara perpustakaan dan
pengguna, sedemikian rupa sehingga perpustakaan dapat memanfaatkan
akumulasi pengetahuan ini dengan mudah untuk mempercepat dan
meningkatkan mutu pelayanan dan proses pengetahuan.
Informasi yang perlu direkam adalah mengenai pengguna (minat, keahlian,
publikasi, kegiatan, dsb.), informasi yang pernah dicarinya, dan bagaimana
hasilnya; keluhan, kritik, dan usulan yang pernah disampaikannya; bagaimana
atau sejauh mana tanggapan perpustakaan mengenai hal-hal tersebut, dan
tanggapan pengguna terhadap respons perpustakaan; dst. Hal ini berguna
untuk perpustakaan membangun hubungan dengan penggunanya secara
individual dan mengantisipasi kebutuhannya.
Dengan demikian, perpustakaan menjadi terintegrasi dengan kegiatan penggunanya.
Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan, kepuasan, dan kepercayaan
pengguna akan perpustakaan, serta kemitraan di antara mereka.
Gedung
Meskipun tingkat penambahan koleksi tercetak tidak akan sebanyak dahulu, hal ini tidak
berarti perpustakaan memerlukan ruang yang lebih kecil. Ruang yang lebih banyak
perlu disediakan untuk training information skills, peralatan komputer untuk one-stop
service, peralatan digitalisasi, ruang pengembangan bahan multimedia yang dibutuhkan
pengguna, ruang pertemuan, ruang-ruang untuk menggunakan komputer pribadi, dsb.
C. TRANSFORMASI PUSTAKAWAN
Sebetulnya yang paling memerlukan dan yang harus pertama kali melakukan
transformasi di era pengetahuan ini adalah para pustakawan. Adding value, manajemen
pengetahuan, information literacy training, multi-fungsi, dsb.; semuanya ini memerlukan
kemampuan yang lebih dari sekedar pengetahuan dan ketrampilan di bidang TI dan
bidang-bidang pengetahuan yang digeluti pengguna. Yang terlebih diperlukan adalah
kemampuan untuk melihat dan bekerja seperti ’kupu-kupu di padang bunga
pengetahuan” atau ’petani di kebunnya’. Ini adalah kemampuan untuk melihat dan
memanfaatkan (tepatnya mensinergikan) pelbagai potensi TI dan pengetahuan untuk
sebanyak mungkin peningkatan kuantitas dan kualitas siklus pengetahuan. Ini
merupakan kemampuan melihat ’di atas rata-rata pengguna’ dan kreativitas. Karena itu
sebetulnya daftar pekerjaan baru perpustakaan tidak pernah berakhir, dan semuanya
berpusat pada memfasilitasi pemanfaatan dan pengembangan pengetahuan.
Berikut ini adalah kutipan tentang pustakawan yang dibutuhkan di era digital ini:
“Holistic librarians with a broad range of competencies and skills are an emerging
prerequisite in academic libraries, especially in technology-oriented roles.” (Dupuis &
Ryan (2002, h5),
.
“New librarians will come from other backgrounds, and the emphasis will be on
leadership, connectivity, innovation and creativity – making new and powerful
connections increasingly on an individual basis between people and their knowledge
needs.” (Kempster, 1999, h.201).
PENUTUP
Kemajuan ICT yang memudahkan dan mempercepat kegiatan pengetahuan mulai dari
penciptaan sampai penciptaan kembali pengetahuan, menyebabkan perpustakaan
perlu melakukan transformasi dari penjaga ke penambah nilai pada perpustakaan dan
informasi, dari koleksi tercetak ke digital, dari pemain pasif ke peserta aktif dan dinamis
dalam penciptaan pengetahuan pengguna, dari manajemen informasi ke manajemen
pengetahuan, dari training library skills ke information skills.
Hal ini memerlukan transformasi pustakawannya terlebih dahulu. Transformasi
pustakawan ini terutama menyangkut perluasan pandangannya mengenai posisi dan
peranannya dalam peningkatan nilai informasi dan sumber-sumbernya secara terusmenerus,
proaktif, dan kreatif. Tentu saja ini memerlukan komitmen bukan hanya dari
pustakawan, tetapi terutama juga dari pimpinan tertinggi di organisasi induk.
DAFTAR PUSTAKA
Bundy, Alan (2001). The 21st century profession: objects, values, responsibilities.
Paper delivered at CPD seminar ALIA Qld Branch 20 June 2001. Ditelusuri tanggal
28 Juli 2004 dari http://www.library.unisa.edu.au/about/papers/21century.htm
Danabalan, Hon Dato’ V. (1999). “Knowledge Economy and Knowledge Society -
Challenge and Opportunities for Human Resource Management”, Buletin JPA Online.
Ditelusuri tanggal 31 Juli 2004 dari
http://www.jpa.gov.my/buletinjpa/bil2/knowledge_economy_and_knowledge_.htm.
Diao, Ai Lien (2003). Perubahan perpustakaan perguruan tinggi dan kebutuhan
akan tenaga baru. Makalah yang dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan
Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang
diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Depok.
Dupuis, J. & Ryan, P. (2002). Bridging the two cultures: a collaborative approach to
managing electronic resources. Issues in Science and Technology Librarianship,
spring.
Kempster, G. (1999). Dawning of the age: the horizon for powerful people-centred
libraries. Dalam S. Criddle, L. Dempsey, dan R. Heseltine (eds.) Information
landscapes for a learning society: networking and the future of libraries 3. An
international conference held at the university of bath, 29 june-1 july 1998 (199-
204). London: Library Association Publishing.
Skyrme, David (2002). Ten ways to add value to your business. Ditelusuri pada
tanggal 29 Juli 2004 dari http://www.skyrme.com/pubs/tenways.htm.

Tidak ada komentar: