StatCounter

View My Stats

Selasa, 30 Juni 2009

Untuk Kakanya Pak Teddy

Prediksi Passing Grade SMP dan SMA Negeri Bandung 2008 / 2009 (updated)
June 26, 2008
by fauzanalfi
Prediksi “Passing Grade” SMP Negeri Kota Bandung 2008 / 2009


SMP PG SMP PG
SMPN 1 25,80 SMPN 27 24,20
SMPN 2 27,00 SMPN 28 25,55
SMPN 3 26,00 SMPN 29 21,50
SMPN 4 24,45 SMPN 30 25,40
SMPN 5 27,40 SMPN 31 23,85
SMPN 6 21,85 SMPN 32 21,45
SMPN 7 26,20 SMPN 33 21,65
SMPN 8 26,80 SMPN 34 25,65
SMPN 9 24,95 SMPN 35 22,15
SMPN 10 23,45 SMPN 36 21,80
SMPN 11 24,70 SMPN 37 22,10
SMPN 12 25,30 SMPN 38 22,25
SMPN 13 26,55 SMPN 39 22,60
SMPN 14 26,35 SMPN 40 23,30
SMPN 15 23,95 SMPN 41 22,65
SMPN 16 24,10 SMPN 42 21,75
SMPN 17 25,15 SMPN 43 24,30
SMPN 18 24,55 SMPN 44 24,80
SMPN 19 22,45 SMPN 45 22,35
SMPN 20 23,55 SMPN 46 22,00
SMPN 21 21,35 SMPN 47 21,95
SMPN 22 23,75 SMPN 48 22,50
SMPN 23 21,55 SMPN 49 23,00
SMPN 24 22,75 SMPN 50 23,65
SMPN 25 23,10 SMPN 51 22,90
SMPN 26 23,20 SMPN 52 21,30

Jumat, 12 Juni 2009

TRANSFORMASI DUNIA PERPUSTAKAAN1

TRANSFORMASI DUNIA PERPUSTAKAAN1

Diao Ai Lie
Poskan Oleh : Darwanto S Sos

The perceived overabundance of information in 1860 is, of course, insignificant compared with
the figures from the 2000 study How much information? (www.sims.berkeley.edu/how-muchinfo/
summary.html) that the world’s total annual production of print, film, optical and magnetic
content would require the equivalent of 250 megabytes per person for every person on earth.
Print documents only account for a very small part of the total, but still include 65 million titles,
and 2.75 billion book sales a year. (Bundy, 2001)
Kutipan tersebut di atas memperlihatkan gambaran tentang era yang kita sedang hidupi
bersama sekarang ini dan yang akan lebih mencengangkan lagi di masa-masa
mendatang. Pemicunya adalah teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang juga
terus berkembang cepat.
ICT memungkinkan pekerjaan dilakukan tanpa atau dengan sedikit sekali campur
tangan manusia. ICT juga mempermudah dan mempercepat perekaman,
pengorganisasian, editing, penelusuran kembali, penyebaran, dan sharing, informasi
dan pengetahuan serta sumber-sumbernya (termasuk manusia) dalam bentuk multiformat:
tacit, explicit; teks, audio, video, audio-visual, dsb.; tanpa memandang bidang
ilmu dan kegiatan. Hal ini memacu terciptanya masyarakat pengetahuan (knowledge
society) yang demokratis. Siapa saja bisa mempunyai akses ke sumber-sumber
informasi dan pengetahuan, dan bisa dengan mudah mempublikasikan karyanya, di
Internet. Siapa saja tanpa memandang status sosial ekonominya bisa berpartisipasi
dalam suatu milis. Orang pun menjadi semakin mudah untuk melakukan multi-tasking
(beberapa tugas dalam waktu yang sama hanya melalui satu komputer). ICT juga
memudahkan orang untuk berpikir dan menuangkan gagasannya secara multi-format
dan non-linear. Kemampuan ICT ini juga meningkatkan percepatan cross-breeding
informasi dan pengetahuan yang bukan lagi dalam disiplin atau bidang kehidupan yang
sama, tetapi juga secara intra- dan bahkan inter-disiplin atau bidang kehidupan.
Sebagai akibat dari itu, masyarakat menempatkan informasi dan pengetahuan sebagai
asset yang terpenting untuk meraih sukses di segala bidang, bahkan untuk
mendapatkan waktu luang yang berkualitas. Itulah sebabnya kita mendengar istilahistilah
seperti information society, knowledge society, knowledge economy. Dalam
masyarakat informasi atau ekonomi berbasis pengetahuan, keunggulan masyarakat
atau kegiatan ekonomi ditentukan oleh sejauh mana suatu keputusan dan tindakan
diambil lebih berdasarkan pengetahuan daripada asset lainnya (seperti uang, energi,
teknologi, kekuasaan, dsb.).
Dengan perkataan lain, ledakan informasi dan pengetahuan serta kemajuan ICT,
kedudukan informasi dan pengetahuan dalam information society sebagai asset yang
1 Gabungan antara makalah yang disampaikan dalam Musyawarah Kerja Nasional II dan
Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang diselenggarakan
pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok; dan
makalah yang dipresentasikan dalam “Perpustakaan dan Layanan Informasi: Kebutuhan
Pengelola Perpustakaan-pengguna dan masyarakat (a Refreshment Training)” yang
diselenggarakan pada tanggal 3-4 Agustus 2004, di Bandung, kerjasama UPT Perpustakaan ITB
dan The British Council.
terpenting untuk meraih sukses di segala bidang, membuat semua pihak melakukan
transformasi, kalau tidak mau tertinggal. Perpustakaan sendiri akan diabaikan kalau
tidak dapat membantu pengguna lebih daripada kemampuan pengguna dalam
memanfaatkan ICT dan informasi.
Transformasi adalah perubahan yang bersifat struktural, secara bertahap, total, dan
tidak bisa dikembalikan lagi ke bentuk semula (irreversible) (Danabalan, 1999). Dalam
arti inilah transformasi perpustakaan dibicarakan, yaitu terutama dari segi fungsi dan
fasilitas. Sebagian dari hal ini sudah pernah ditulis dalam Diao (2003).
A. TRANSFORMASI FUNGSI
Konteks tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perpustakaan perlu melakukan
transformasi. Dari segi fungsi, perpustakaan harus berusaha memainkan peranan
penting dalam menambah nilai pada informasi dan juga pada perpustakaan itu sendiri,
kalau tidak mau dikesampingkan oleh pengguna yang semakin dimudahkan oleh ICT
dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Caranya yaitu dengan melakukan
streamlining, ekspansi, dan inovasi. Tabel berikut ini memperlihatkan perubahan
fungsi perpustakaan sebelum dan sesudah era Internet.
Tabel 1: Transformasi Fungsi Perpustakaan
Sebelum Internet Sesudah Internet
Memberikan multi-entry service atau
pelayanan yang terpisah untuk
pengadaan, pengolahan, transaksi
peminjaman, referensi, dsb.
Menyediakan one-stop service: multifunctional
librarians serving multi-tasking
customers
Mengumpulkan informasi dan
pengetahuan (umumnya tercetak) secara
lokal
Mengkoleksi dan menyediakan akses ke
informasi dan pengetahuan serta sumbersumbernya
yang tersebar di seluruh dunia,
dalam multi-format (termasuk tacit)
Menjaga koleksi dan akses informasi dan
pengetahuan
Menambah nilai pada informasi dan
pengetahuan (adding value)
Melayani individu atau kelompok tanpa
melihat potensi hubungannya dengan
individu atau kelompok lain
Melayani individu atau kelompok sebagai
anggota jaringan
Memberikan pelayanan di tempat (on site)
dan sebatas jam pelayanan
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
Manajemen informasi: memberikan
pelayanan sebatas akses informasi dan
pengetahuan
Manajemen pengetahuan: memberikan
pelayanan bervariasi dan dinamis meliputi
seluruh siklus pengetahuan (mulai dari
penciptaan, perekaman dan publikasi,
penyebaran, penggunaan, dan penciptaan
kembali, pengetahuan)
Memberikan pendidikan pemakai sebatas
mengenai pemanfaatan perpustakaan
(library skills and literacy)
Meningkatkan information skills and
literacy sedemikian rupa sehingga
pengguna dapat memanfaatkan ICT untuk
mengakses dan memanfaatkan informasi
secara kritis; serta merekam,
mempublikasi atau share, pengetahuan
dengan efisien.
Di samping saling berkaitan, fungsi-fungsi yang baru tersebut belum lengkap daftarnya,
karena perpustakaan dalam masyarakat pengetahuan dituntut untuk terus-menerus
melakukan inovasi dalam menangkap peluang untuk menambah nilai pada organisasi
maupun informasi dan pengetahuan yang ditanganinya. Berikut ini adalah uraian
tentang fungsi-fungsi yang baru.
Menyediakan One-stop service: multi-functional librarians serving multi-tasking
customers
ICT memungkinkan pustakawan dan pengguna untuk melakukan multi-tasking di
komputer yang sama. Pekerjaan tradisional perpustakaan (yaitu, akuisisi, pengolahan,
dan penyebaran informasi; dan juga pengelolaannya) dapat dilakukan melalui satu
komputer, dan dengan prosedur yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan kalau hal
itu dilakukan secara manual dan menyangkut bahan non-elektronik. Seorang
pustakawan bisa menerima pesanan untuk mencari informasi suatu topik, melakukan
pencarian di dalam dan luar perpustakaan tempat ia bekerja, memesan pada toko buku
dan/atau men’download’ dari Internet atau perpustakaan lain, mengolah informasi yang
didapatkannya, dan menyampaikannya pada si pemesan, tanpa harus berpindah
komputer apalagi melakukan perjalanan ke luar perpustakaan.
Pengguna juga dapat melakukan beberapa tugas sekaligus melalui sistem
perpustakaan. Waktu mencari suatu informasi, misalnya ‘gender’, dia bukan hanya bisa
mendapatkan sumber informasi non-personal, tetapi juga nama-nama pengguna yang
mempunyai keahlian di bidang ini. Kemudian dia bisa memilih dengan meng’klik’nya
dan berdiskusi dengan orang tersebut. Karya tulis yang dikerjakannya di komputer
tersebut dapat juga dia kirimkan ke orang-orang yang dia inginkan masukannya. Dia
juga bisa menaruh karya tersebut di database perpustakaan supaya bisa diberi
masukan oleh siapa saja. Selain itu, dia juga bisa mencek sudah sejauh mana pesanan
buku yang dia ajukan ke perpustakaan ditindaklanjuti, melihat menu makanan di kantin
universitas atau jadwal kereta api, dsb. Semuanya ini mudah dilakukan dengan bantuan
ICT.
Menyediakan Koleksi dan akses informasi dan pengetahuan dalam multi-format
Seperti diketahui informasi dan pengetahuan tersaji dalam pelbagai bentuk dan sumber.
Di samping teks dan cetakan, ada bahan-bahan multi-media, digital, hypertext, dsb.
Perpustakaan perlu menyediakan akses ke semua sumber tersebut, termasuk juga
pertemuan dan diskusi formal dan informal
Menambah nilai pada informasi dan pengetahuan (adding value)
Kebutuhan Informasi dan pengetahuan mempunyai konteks. Nilai informasi dan
pengetahuan ditentukan oleh sejauh mana informasi dan pengetahuan yang disajikan
sesuai dengan konteks seorang pengguna. Penyediaan akses informasi yang
disesuaikan dengan konteks dapat dilakukan melalui pelayanan personalised library,
konsultasi, berdasarkan profil pengguna dan informasi tentang tahap dan jadwal
kegiatan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan pengguna dalam kegiatan
perpustakaan (misalnya, menentukan kata kunci untuk suatu sumber, link ke suatu situs,
dsb.).
Nilai informasi juga bisa ditingkatkan dengan cara menyediakan akses hanya ke
sumber-sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya yaitu dengan, misalnya,
membuat portal atau pintu masuk ke sumber-sumber yang sudah diseleksi oleh
perpustakaan atau lembaga lain (misalnya: virtual libraries, subject-based gateways).
Nilai informasi juga meningkat bila diberikan pada waktu yang tepat, dan dapat
digunakan dengan mudah. Secara rinci Skyrme (2002) menyebutkan 10 aspek yang
dapat meningkatkan nilai informasi, yaitu, timeliness, accessibility, usability, utility,
quality, customised, medium, repackaging, flexibility, dan reusability.
Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
Kemajuan ICT memudahkan dan mendorong terjadinya kolaborasi di antara orangorang
dan kelompok-kelompok yang tidak saling kenal dan dipisahkan oleh jarak dan
waktu. Ini berarti, perpustakaan harus membantu individu dalam melakukan
pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan, yaitu dengan cara mendorong dan
menyediakan fasilitas untuk mereka terhubung, berbagi pengetahuan dan berkolaborasi,
dengan orang-orang di dalam dan luar kelompoknya.
Memberikan pelayanan on-line 24 jam
Fasilitas perpustakaan digital dan Internet memungkinkan perpustakaan diakses dan
digunakan tanpa memandang waktu dan jarak. Hal ini akan menambah nilai pada
perpustakaan yang bersangkutan.
Manajemen pengetahuan
Siklus pengetahuan meliputi penciptaan, perekaman dan organisasi, penyebaran dan
akses, penggunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan. Selama
ini, perpustakaan (termasuk kajiannya) lebih banyak berfokus pada organisasi
(kataloging, dsb.) dan penyebaran (termasuk pencarian informasi). Di samping itu,
perpustakaan lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di luar pikiran
penciptanya. Padahal banyak pengetahuan yang masih ada dalam kepala (dan belum
pernah direkam dalam sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh
perpustakaan selama ini).
Untuk meningkatkan nilainya, perpustakaan harus memfasilitasi dan berpartisipasi pasif
maupun aktif dalam manajemen pengetahuan penggunanya. Caranya yaitu dengan
melakukan kegiatan dan meyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan
proses pengetahuan, misalnya menstimulasi terjadinya diskusi di perpustakaan maupun
di milis, merangkum dan membuat resensi diskusi-diskusi tersebut; membantu
pengguna untuk melakukan e-publishing, sharing, menyiapkan publikasi dalam pelbagai
format (misalnya, menyajikan hasil penelitian dalam bentuk film), mengelola file-file
elektroniknya; dsb.
Meningkatkan information skills and literacy
Kemajuan pesat ICT memungkinkan akses yang tidak terbatas ke sumber-sumber
informasi dan pengetahuan yang tidak semuanya terjamin mutunya. Hal ini dengan
sendirinya meningkatkan kebutuhan pengguna akan penguasaan ICT dan kemampuan
untuk mengakses (secara fisik dan intelektual), menseleksi, serta mengeksploitasi
informasi dan pengetahuan tersebut, sedemikian rupa sehingga membantu terciptanya
pengetahuan baru. Untuk itu perpustakaan perlu menyediakan training on site, online,
maupun offline untuk information literacy yang di dalamnya juga termasuk ICT literacy.
Topiknya meliputi kemampuan untuk mengenali informasi dan teknologi yang
dibutuhkan, membangun strategi untuk mencari dan menemukan hal tersebut,
mengevaluasi informasi dan sumbernya, mengorganisir dan menggunakannya
sehingga berguna untuk menciptakan pengetahuan baru, dan mengkomunikasikannya
(SCONUL seperti dikutip oleh Naibaho, 2004)
B. TRANSFORMASI FASILITAS
ICT
Untuk menjalankan fungsi baru tersebut di atas, perpustakaan perlu mengembangkan
fasilitas yang lebih dari sekedar perpustakaan digital, yaitu perpustakaan digital dengan
fasilitas untuk:
1. menghubungkan orang-orang yang bekerja dengan topik yang sama atau serupa
Untuk ini perlu dibuat fasilitas penghubung dengan para ahli yang ada di dalam
dan luar kampus, database ahli, dan fasilitas diskusi melalui milis, dan konsultasi
on-line atau liwat e-mail.
2. menghubungkan orang dengan informasi, yang terdapat di dalam dan luar
kampus
Di samping pangkalan data lokal, perpustakaan juga harus menyediakan links
dengan sumber-sumber di luar.
3. merekam (capture) jalannya dan hasil pertemuan (termasuk rapat, seminar,
kuliah, dsb.)
4. mempublikasi dalam pelbagai format (untuk ini diperlukan misalnya, software
untuk video editing, web development, dsb.)
5. meng’upload’ file multiformat bahkan sejak draft pertama, dan mendiskusikan
karya yang di’úpload’ tersebut
6. membuat perpustakaan digital pribadi, yaitu dengan fasilitas untuk membuat link
dengan sumber-sumber di dalam dan luar perpustakaan menurut kata-kata kunci
dan hubungan antar-kata kunci tersebut, yang ditentukan oleh pengguna sendiri
7. membuat modul-modul untuk training literacy skills secara on-line maupun offline
8. merekam semua transaksi yang pernah terjadi antara perpustakaan dan
pengguna, sedemikian rupa sehingga perpustakaan dapat memanfaatkan
akumulasi pengetahuan ini dengan mudah untuk mempercepat dan
meningkatkan mutu pelayanan dan proses pengetahuan.
Informasi yang perlu direkam adalah mengenai pengguna (minat, keahlian,
publikasi, kegiatan, dsb.), informasi yang pernah dicarinya, dan bagaimana
hasilnya; keluhan, kritik, dan usulan yang pernah disampaikannya; bagaimana
atau sejauh mana tanggapan perpustakaan mengenai hal-hal tersebut, dan
tanggapan pengguna terhadap respons perpustakaan; dst. Hal ini berguna
untuk perpustakaan membangun hubungan dengan penggunanya secara
individual dan mengantisipasi kebutuhannya.
Dengan demikian, perpustakaan menjadi terintegrasi dengan kegiatan penggunanya.
Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan, kepuasan, dan kepercayaan
pengguna akan perpustakaan, serta kemitraan di antara mereka.
Gedung
Meskipun tingkat penambahan koleksi tercetak tidak akan sebanyak dahulu, hal ini tidak
berarti perpustakaan memerlukan ruang yang lebih kecil. Ruang yang lebih banyak
perlu disediakan untuk training information skills, peralatan komputer untuk one-stop
service, peralatan digitalisasi, ruang pengembangan bahan multimedia yang dibutuhkan
pengguna, ruang pertemuan, ruang-ruang untuk menggunakan komputer pribadi, dsb.
C. TRANSFORMASI PUSTAKAWAN
Sebetulnya yang paling memerlukan dan yang harus pertama kali melakukan
transformasi di era pengetahuan ini adalah para pustakawan. Adding value, manajemen
pengetahuan, information literacy training, multi-fungsi, dsb.; semuanya ini memerlukan
kemampuan yang lebih dari sekedar pengetahuan dan ketrampilan di bidang TI dan
bidang-bidang pengetahuan yang digeluti pengguna. Yang terlebih diperlukan adalah
kemampuan untuk melihat dan bekerja seperti ’kupu-kupu di padang bunga
pengetahuan” atau ’petani di kebunnya’. Ini adalah kemampuan untuk melihat dan
memanfaatkan (tepatnya mensinergikan) pelbagai potensi TI dan pengetahuan untuk
sebanyak mungkin peningkatan kuantitas dan kualitas siklus pengetahuan. Ini
merupakan kemampuan melihat ’di atas rata-rata pengguna’ dan kreativitas. Karena itu
sebetulnya daftar pekerjaan baru perpustakaan tidak pernah berakhir, dan semuanya
berpusat pada memfasilitasi pemanfaatan dan pengembangan pengetahuan.
Berikut ini adalah kutipan tentang pustakawan yang dibutuhkan di era digital ini:
“Holistic librarians with a broad range of competencies and skills are an emerging
prerequisite in academic libraries, especially in technology-oriented roles.” (Dupuis &
Ryan (2002, h5),
.
“New librarians will come from other backgrounds, and the emphasis will be on
leadership, connectivity, innovation and creativity – making new and powerful
connections increasingly on an individual basis between people and their knowledge
needs.” (Kempster, 1999, h.201).
PENUTUP
Kemajuan ICT yang memudahkan dan mempercepat kegiatan pengetahuan mulai dari
penciptaan sampai penciptaan kembali pengetahuan, menyebabkan perpustakaan
perlu melakukan transformasi dari penjaga ke penambah nilai pada perpustakaan dan
informasi, dari koleksi tercetak ke digital, dari pemain pasif ke peserta aktif dan dinamis
dalam penciptaan pengetahuan pengguna, dari manajemen informasi ke manajemen
pengetahuan, dari training library skills ke information skills.
Hal ini memerlukan transformasi pustakawannya terlebih dahulu. Transformasi
pustakawan ini terutama menyangkut perluasan pandangannya mengenai posisi dan
peranannya dalam peningkatan nilai informasi dan sumber-sumbernya secara terusmenerus,
proaktif, dan kreatif. Tentu saja ini memerlukan komitmen bukan hanya dari
pustakawan, tetapi terutama juga dari pimpinan tertinggi di organisasi induk.
DAFTAR PUSTAKA
Bundy, Alan (2001). The 21st century profession: objects, values, responsibilities.
Paper delivered at CPD seminar ALIA Qld Branch 20 June 2001. Ditelusuri tanggal
28 Juli 2004 dari http://www.library.unisa.edu.au/about/papers/21century.htm
Danabalan, Hon Dato’ V. (1999). “Knowledge Economy and Knowledge Society -
Challenge and Opportunities for Human Resource Management”, Buletin JPA Online.
Ditelusuri tanggal 31 Juli 2004 dari
http://www.jpa.gov.my/buletinjpa/bil2/knowledge_economy_and_knowledge_.htm.
Diao, Ai Lien (2003). Perubahan perpustakaan perguruan tinggi dan kebutuhan
akan tenaga baru. Makalah yang dipresentasikan di Musyawarah Kerja Nasional II dan
Seminar Ilmiah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), yang
diselenggarakan pada tanggal 16-18 September 2003 di Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Depok.
Dupuis, J. & Ryan, P. (2002). Bridging the two cultures: a collaborative approach to
managing electronic resources. Issues in Science and Technology Librarianship,
spring.
Kempster, G. (1999). Dawning of the age: the horizon for powerful people-centred
libraries. Dalam S. Criddle, L. Dempsey, dan R. Heseltine (eds.) Information
landscapes for a learning society: networking and the future of libraries 3. An
international conference held at the university of bath, 29 june-1 july 1998 (199-
204). London: Library Association Publishing.
Skyrme, David (2002). Ten ways to add value to your business. Ditelusuri pada
tanggal 29 Juli 2004 dari http://www.skyrme.com/pubs/tenways.htm.

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

Selasa, 09 Juni 2009

Pemanfaatan Teknologi Informasi Sebagai Media Dakwah, Bisnis, dan Pengembangan Budaya Dipresentasikan di PUSTENA SALMAN ITB

1
Pemanfaatan Teknologi
Informasi Sebagai
Media Dakwah, Bisnis,
dan Pengembangan
Budaya
Dipresentasikan di
PUSTENA SALMAN ITB
Oleh: Budi Rahardjo
Sumber Daya Telematika Indonesia, pt
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Definisi Teknologi
Informasi
­ Jika ada information technology,
semestinya ada information science
­ Apa beda “science” dan “technology”?
– Teknologi menggunakan science sebagai
basisnya
– Ideal vs adanya batasan (waktu, budget,
kemampuan)
– Teknologi berhubungan dengan nilai
ekonomis
2
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Informasi Sebagai
Komoditi
­ Benarkah informasi bisa dikomoditikan?
– Informasi tentang bank yang dilikuidasi,
rush bank tersebut
– Surat kabar, majalah, TV:
jualan informasi
– Dakwah: menyebarkan informasi
– Bisnis: berbasis informasi
– Pengembangan Budaya: pertukaran
informasi
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Internet: implementasi
IT
­ Internet merupakan salah satu bentuk
nyata implementasi dari Information
Technology
­ Yang membuat Internet istimewa:
skala besar
– Cakupannya yang luas: seluruh dunia
– Harganya yang relatif murah
– Tidak ada yang mengontrol: anarki?
3
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Penggunaan IT
­ Kemampuan menggunakan produk IT
adalah esensial
­ Adakah di antara anda yang tidak
dapat menggunakan telepon?
Tak lama lagi …
­ Adakah di antara anda yang tidak
dapat menggunakan email?
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Internet: Media
Dakwah
­ Sudah dikenal sejak lama. Bahkan
orang Indonesia termasuk pelopor
penggunaan Internet untuk dakwah:
ISNET.org
­ Diskusi melalui mailing list, IRC,
“Negeri Isnet” MUD
­ Web untuk menyebarkan informasi
dan tempat belajar
4
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Internet: Media
Penipuan
­ Internet juga dapat digunakan sebagai
tempat untuk menjerumuskan orang
dengan informasi yang menyesatkan
­ Pandai-pandai memilah informasi
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Internet: media bisnis
­ Sudah terlalu banyak diulas di
berbagai publikasi
­ E-commerce, e-business, dan
berbagai e- lainnya
­ New Economy: ekonomi berbasis
Internet?
­ “Brick and mortar” menjadi “click and
mortar”
5
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Internet:
Pengembangan Budaya
­ Melestarikan budaya: informasi
mengenai sejarah, benda-benda
bersejarah
­ Sejarah komputer & internet
berbahasa Indonesia
http://ensiklomedia.insan.co.id
­ Timbul budaya baru? Budaya online?
Banyak menulis? Budaya kerja keras?
GPL 2001, Sumber Daya Telematika Indonesia
Penutup
­ Teknologi itu netral. Dapat dibuat
untuk kebaikan dan kejahatan
­ Penguasaan Teknologi Informasi
sangat esensial dalam kehidupan
masa kini

Senin, 01 Juni 2009

Tenaga Perpustakaan di JABAR masih minim

Pemerintah Kota Bandung kekurangan banyak tenaga pustakawan dan perpustakaan. Saat ini baru ada 78 perpustakaan tingkat kelurahan di 1 2 kecamatan. Adapun pustakawan yang mengelola tak lebih dari 3-5 orang per perputakaan.


Wali Kota Bandung Dada Rosada menjelaskan, idealnya satu perpustakaan dikelola oleh 10 orang. Jumlah perpustakaan kami juga masih kurang. Tahun 2014 kami targetkan semua kelurahan yang jumlahnya 151 itu sudah memiliki perpustakaan.

"Idealnya, satu warga memiliki minimal lima judul buku," ujarnya sesuai peresmian Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung , Senin (25/5).

Kepala Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat Dedi Junaedi mengakui, sejak tahun 2002 sampai 2009 baru berdiri 244 perpustakaan di desa dan kelurahan di Jabar. Dia menergetkan tahun 2014 sudah ada perpustakaan di 5.700 desa dan kelurahan di Jabar.

"Satu perpustakaan minimal memiliki 1.000 buku. Kami juga bekerja sama dengan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam melatih para calon pustakawan di desa dan kelurahan," ujarnya.

Tenaga Perpustakaan Masih Belum memadai

Sumber Kompas 2 Juni 2009

Direktur Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Surya Dharma mengatakan, Kamis (28/5), ketersediaan tenaga perpustakaan masih terbatas. Baru terdapat 221 tenaga fungsional pustakawan di sekolah-sekolah yang telah memiliki perpustakaan. Saat ini, sekitar 16.000 sekolah sudah memiliki perpustakaan yang memenuhi standar.

Tenaga fungsional pustakawan berlatar belakang minimal diploma dua di bidang perpustakaan. Selebihnya, tenaga perpustakaan merupakan guru, petugas administrasi, atau tenaga lain di sekolah.

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengatakan, tidak dapat dipungkiri, perpustakaan memiliki peranan penting dalam usaha peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Namun, diakui, pemerintah belum dapat berbuat maksimal.

Secara umum, belum semua sekolah memiliki perpustakaan dan tenaga perpustakaan. Ketidakcukupan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua pemangku kepentingan sekolah. Demikian dikatakannya.

Dalam usaha mewujudkan kecukupan buku wajib, pemerintah telah berusaha keras memenuhinya antara lain dengan menaikkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), termasuk untuk BOS buku. Pemerintah juga telah membeli hak paten buku dengan tujuan agar ketersediaan buku murah di sekolah dapat diwujudkan.

perpustakaan terbesar di Indonesia

Sumber : Kompas 2 Juni 2009

Indonesia bakal memiliki perpustakaan termodern, terbesar dan terindah di dunia yang akan berlokasi Universitas Indonesia (UI) Depok di areal seluas 2,5 hektar. Pihak Rektorat UI dalam siaran persnya di Jakarta, Sabtu (30/5), menyebutkan, gedung perpustakaan yang memiliki luas bangunan 30.000 m2 serta terdiri atas delapan lantai yang pemancangan tiang perdana akan dilakukan Senin (1/6) ditargetkan pembangunnya selesai pada Desember 2009.

Deputy Director Corporate Communications UI Devie Rahmawati menyatakan, proyek yang merupakan pengembangan dari perpustakaan pusat yang dibangun tahun 1986-1987 itu didanai oleh pemerintah dan industri dengan anggaran sekitar Rp 100 miliar. Gedung perpustakaan tersebut dirancang dengan konsep "sustainable building" yang mana kebutuhan energi menggunakan sumber terbarukan yakni energi matahari (solar energy) selain itu di dalam gedung tidak diperbolehkan menggunakan plastik.

Area baru tersebut bebas asap rokok, hijau serta hemat listrik, air dan kertas hingga hal inilah yang menjadikan sebagai perpustkaan terbesar, termodern dan terindah di dunia. erpustakaan pusat UI tersebut akan mampu menampung sekitar 10.000 pengunjung dalam waktu bersamaan atau sekitar 20.000 orang per hari selain itu juga akan menampung 3-5 juta judul buku.

Sistem ICT mutakhir juga akan melengkapi perpustakaan tersebut sehingga memungkinkan pengunjung leluasa menikmati sumber informasi elektronik seperti e-book, e-journal dan lain-lain. Sedangkan perpaduan gaya arsitektur yang unik serta lokasi perpustakaan di tepian danau Kenanga UI yang ditumbuhi pepohonan besar berusia 30 tahun akan merupakan keindahan bagi perpustakaan tersebut.