StatCounter

View My Stats

Selasa, 19 Mei 2009

Isu-isu Terkini Guru dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Isu-isu Terkini Guru dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi

I. PENDAHULUHAN
A. Latar Belakang Masalah
Kini teknnologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Walaupun pada umumnya berada pada tataran konsumen atau pemakai, namun keadaannya masih kalah jauh dari negara-negara tetangga, tetapi Indonesia tidak luput dari pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa jenjang sekolah, khususnya pada tingkat sekolah menengah atas (SLTA) dan sekolah menengah pertama (SLTP) dan sederajat, termasuk juga sebagian kecil sekolah dasar, kini para siswa telah diberi sebuah mata pelajaran yang berhubugan dengan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga diharapkan para siswa setidaknya sudah tidak asing dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, dan kalah pentingnya adalah guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain.

Kini beberapa sekolah telah menerapkan pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, Internet dan lainnya) untuk menyampaikan isi materi yang diajarkan. Komputer, internet, intranet, satelit, tape/video, TV interaktif dan CD ROM adalah bagian media elektronik yang dimaksudkan dalam kategori ini. Komponen yang tak kalah penting dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran adalah para guru yang mengajar pada sekolah dalam berbagai jenjang.

Guru yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pembelajaran di sekolah sebenarnya memerlukan berbagai piranti dalam mengoptimalkan pemanfaatan TIK dan Komunikasi in untuk mendukung kemampunnya yang diperlukan khususnya dalam operasional perangkat TIK tersebut. Berbagai hasil penelitian menunjukkan kini masih banyak guru yang masih gagap dalam pemakian komputer dalam mengakses informasi dan pemanfaatannya dalam proses pembelajaran.

Perkembangan TIK dewasa ini ibarat embun dipagi hari, sering dalam tidur lelap kita tidak menyadari bahwa keesokan paginya telah ditemukan penemuan baru yang sangat penting bagi sejarah manusia. Lagi-lagi kita hanya mengiyakan penemuan itu tanpa harus berupaya menguasainya, lebih parah jika hanya cukup dengan keadaan yang ada tanpa adanya usaha apapun dalam merespon perkem-bangan ini.

Keharusan guru dalam mendorong dan mendukung siswa kearah kreatif pemanfaatan TIK mutlak dilaksanakan. Untuk itu peranan guru sangat dibutuhkan demi keseimbangan penguasaan dan pengemasan informasi yang bakal dihadapkan dan disajikan kepada siswanya. Karena ada kemungkinanan siswa telah memahami lebih jauh satu persoalan dari pada gurunya. Berangkat dari hal tersebut nampaknya kita harus ingat sebuah pesan Nabi Muhammad SAW ”ajarilah anak-anakmu sesuai dengan jamanya dan bukan jaman mu”.

Kondisi guru yang sebagaian besar masih belum optimal, bahkan masih banyak yang belum dapat memanfaatkan kemajuan TIK atau dengan perkataan lain masih gagap, kondisi ini perlu dicari penyebabnya dan solusi yang terbaik, khususnya bagi para penentu kebijakan pendidikan. Tulisan ini akan menggali dari berbagai artikel, hasil penelitian, pengakuan, berita, makalah, pandangan dan berbagai ide yang diambil dan diolah atau dianalisa yang bersunber dari informasi yang diambil dari internet. Data sekunder atau berbagai data dan informasi dari internet tersebut hasil tulisan dari berbagai website dari berbagai kota diseluruh Indonesia, dan jumlah sampel kurang lebih 40 (empat puluh) tulisan.

Hasil analisa dalam tulisan ini diharapkan dapat mendapat gambaran yang jelas sehingga diperoleh pemahaman yang benar mengenai kondisi guru kaitannya dalam pemamfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan juga dalam kegiatan lain yang meliputi: (1) sarana-prasarana, fasilitas, dan perangkat; (2) kebijakan pimpinan sekolah dan pimpinan lembaga terkait; (3) kemampuan dan kecakapan dalam pemanfaatan TIK; (4) pendidikan dan pelatihan, kursus yang telah dimiliki guru; dan (5) berbagai kendala yang dialami para guru dalam pemanfaatan TIK. Para penentu kebijakan pendidikan seharusnya sangat berkepentingan atas berbagai informasi tentang kondisi guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain, mengingat otoritas yang dimiliknya dapat mengubah kondisi yang baik menjadi kondisi yang lebih baik. Sementara guru dengan informasi ini dapat menempatkan dan mengkondisikan dirinya sesegera mungkin untuk beradaptasi, paling tidak mengubah sikap dan perilaku untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

B. Rumusan Masalah
Berbagai masalah yang ada pada latar bekang di atas, penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas dalam tulisan adalah:
1. Sejauh mana ketersediaan sarana dan prarana, fasilitas, dan perangkat dalam mendukung pemanfaatan TIK bagi guru?
2. Seberapa tinggi tingkat penguasan dan kecakapan guru dalam penggunaan atau pemanfaatan TIK bagi guru?
3. Kebijakan dan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pimpinan sekolah dan pimpinan instansi terkait dalam penentukan kebijakan untuk mendukung pe-manfaatan TIK bagi guru?
4. Pendidikan dan pelatihan apa saja yang telah dilakukan guru dalam meningkat-kan kemampuan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran?
5. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala guru dalam pemanfaatan TIK?

II. PEMBAHASAN
Membicarakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) oleh para guru dalam proses pembelajaran di sekolah tidak lepas dari berbagai unsur yang saling terkait sata sama lain, yaitu; 1) sarana, prasarana, dan perangkat yang tersedia; 2) tingkat penguasaan guru dalam pemanfaatan TIK; 3) kebijakan pimpinan dalam mendukung pemanfaatan TIK; 4) pendidikan dan pelatihan para guru; dan 5) kendala-kendala guru dalam penggunaan TIK. Kelima unsur yang terkait ini diuraikan per bagian dengan maksud nantinya diperoleh penjelasan, dan pada akhirnya diharapkan diperoleh pemahaman yang benar.

A. Sarana dan prasarana, falitas, dan perangkat pendukung pemanfaatan TIK
Beberapa sekolah kini telah telah memiliki laboratiorium komputer dan internet, khusus sekolah-sekolah yang berlokasi di kota atau tidak jauh dari perkotaan lebih lengkap fasilitas ini dibandingkan dengan sekolah yang berlokasi di pedesaan. Hampir seluruh kota dijumpai sekolah-sekolah yang telah menyediakan fasilitas laboratorium komputer dan internet. Namun dalam pemanfaatan TIK oleh para guru antara sekolah yang satu dengan yang lain tingkatannya sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai ada yang sudah optimal. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat tingkat kemajuan sekolah masing-masing berbeda. Contoh konkrit seperti pada SMP Negeri 8 Palembang, dimana fasilitas komputer dan internet telah ada sejak tahun 2006 dan sudah melaksanakan praktek TIK bagi guru dan siswanya sebanyak 360 orang, namun pemanfaatan TIK bagi siswa masih sebatas pada mata pelajaran TIK, dan guru belum memanfaatan TIK dalam proses pengajaran mata pelajaran yang lain. Berbeda dengan sekolah yang ada di Jakarta, SD Negeri 3 Menteng telah menggunakan TIK dalam pembelajaran Sains dan Matematika. Banyak kasus lain tentang keberagaman tingkat pemakaian dan pemanfaatan TIK ini.

Dari data yang ditemukan diperoleh suatu kondisi dimana ada hal ironis dibeberapa daerah tentang fasilitas TIK ini, seperti kondisi yang ada pada Kecamatan Percut Sei Tuan, Medan. Di kecamatan ini ada sekolah dengan lokasi dimana di sana ada BTS (Base Transceiver Station) operator telekomunikasi berdiri megah di areal sekolahan, sementara guru dan siswa yang beraktivitas di sana sekali belum menggunakan atau memanfaatkan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran maupun aktivitas lain oleh guru, dan dapat dikatakan para guru masih gagap teknologi (gaptek).

Kasus lain yang menarik di mana dalam suatu daerah masih ada pihak-pihak yang dalam menjalankan bisnisnya tidak begitu proaktif terhadap kemajuan dalam pemanfaatan TIK dalam dunia pendidikan. Seperti kasus yang terjadi di kawasan Deli Serdang, di sana masih ditemui perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh para penjual komputer, salah satunya adalah dengan menjual komputer dengan harga yang terlalu tinggi dan diluar harga kewajaran. Bayangkan ada supplier yang menjual komputer berbasis pentium III dengan harga lima juta rupiah lebih, padahal harga komputer tersebut selayaknya tidak akan lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah. Bisa jadi para suplier ini dalam berbisnis hanya mempertimbang-kan keuntungan belaka, tanpa adanya rasa kepedulian atas kemajuan pemanfaatan TIK di daerah tersebut.

Berkaitan dengan pengmbangn sarana dan prasarna untuk pemanfaatan Tik dalam dunia pendidikan dan kegiatan lain di sekolah, ada juga sebuah departemen yang kurang dalam hal perhatian, seperti yang di sampaikan oleh DH. Al Yusni anggota komisi VIII DPRRI yang melakukan kunjungan di Sulsel. Beliau mengatakan kini Departemen Agama dinilai hanya sigap menyikapi masalah haji, sementara menyangkut pengembangan madrasah terkesan sebelah mata, menurutnya ini sebagai tindakan diskriminatif. Dicontohkan oleh beliau, di Sidrap Sulawesi Selatan, guru-guru madrasah terkesan masih gagap menggunakan komputer, ini akibat minimnya perhatian dari Depag, termasuk kesejahteraan para guru madrasah. Ditambahkan oleh Al Yusni, Depag lebih perhatian pada masalah haji, daripada masalah pendidikan di bawah naungannya, mungkin karena masalah haji lebih banyak mengurusi uangnya.

Lain halnya dengan Depdiknas, dimana departemen yang berkepentingan langusung dengan dunia pendidikan ini telah dan akan mengadakan gebrakan yang berkaitan dengan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran di sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan. Depdiknas tahuan 2008 ini akan mengembangkan Jejaring Pendidikan Nasional. Contoh riil yang telah ada dalam hal ini adalah seperti sarana yang telah ditempatkan di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samusir. Di sana jaringan internet selain dipakai untuk kebutuhan dinas, jaringan internet juga dibagi-bagi ke beberapa SMP, SMK, dan SMA lewat antena. Bandwidth dari Depdiknas internet ditempatkan di salah satu sekolah sebagai pengelola teknis, dan sekolah tersebut kemudian membaginya ke sekolah lain.

Pada sekolah-sekolah yang telah dibilang lebih maju, dan kebanyakan berlokasi di kawasan perkoataan, selain tersedianya laboratorium komputer dan internet, beberapa sekolah telah melenkapinya sarana lain yang berkaitan dengan proses pembeljaran, yaitu berbagai media elektronik lainnya. Seperti pada kondisi di SMAN 11 Kota Jambi, perangkat untuk pembelajaran kini juga lebih maju, telah tersedia perangkat modern seperti proyektor LCD yang dilengkapi laptop, ada pengeras suara di masing-masing kelas yang kesemuanya dikontrol oleh operator. Di sekolah ini pada setiap jam istirahat diperdengarkan lagu-lagu lewat speaker, dengan cara ini kejenuhan siswa setelah belajar bisa hilang.

Walaupun Depag ada yang mengatakan kurang dalam memberikan perhatian dalam pengembangan sarana TIK di madrasah-madrasah, tetapi di beberapa madrasah di Jawa Timur kondisi sekolah yang telah tersedia sarana komputer dan internet dibilang telah lebih maju. Di beberapa madrasah di Jatim diketahui bahwa jumlah package computer (PC) yang dimiliki di masing-masing madrasah cukup banyak, jumlanya berkisar antara 10 hingga 20 unit.

Ketersediaan sarana TIK sangat berpengaruh kepada guru dalam hal memilih varian sumber pembelajaran yang dipilih. Seperti yang dikemukakan oleh Mohammad Juri, MPd. (Madura, 14 Januari 2008) yang mengatakan ketidak variativan guru dalam memilih sumber belajar, diantaranya disebabkan oleh minimnya pengetahuaan dan kemampuan menggunakan media pembelajaran yang maju seperti penggunaan komputer. Seperti alasan-alasan yang umum disampaikan oleh para guru, misalnya tidak ada fasilitas komputer di sekolah, fasilitas yang tidak lengkap dikarenakan tidak dana untuk pengadaan, dan terlebih-lebih sikap guru yang kurang pro aktif dalam menghadapi kemajuan ICT.

Peran pengusana swasta dan BUMN sangat penting dalam mendukung dan memberikan suport dalam dunia pendidikan kaitannya dengan pengembangan TIK dalam dunia pendidikan. Contoh konkrit dunia bisnis yang peduli terhadap kemajuan pendidikan adalah seperti yang dinyatakan oleh Dekan FKIP UNRI Riau Drs. Isjoni, MSi, menyatakan ada salah satu perusahaan (PT Chevron Pasifik Indonesia) telah memberikan bantuan 15 unit komputer yang dilengkapi fasilitas internet ke instansinya untuk pelatihan para guru di Riau, khususnya guru yang masih menenputh kuiah di UNRI. Menurutnya semua guru diharapkan bisa belajar mengembangkan diri untuk menguasai teknologi, jangan sampai terjadi gagap teknologi, jangan sampai murid yang yang mengajari guru guru membuka internet.

B. Penguasaan Pemakaian Dalam Pemanfaatan TIK Bagi Guru
Dalam berbagai hasil penelitian dan tulisan mensinyalir ada sekitar 70 s/d 90% guru dalam pemanfaatan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain dianggap masih gagap teknologi. Jika kondisi ini benar demikian, alangkah menyedihkan dan bahkan menyakitkan, betapa tidak, sebab di tengah didengungkannya pembelajaran interaktif (e-learning) yang juga harus melibatkan guru-gurunya dalam bidang studi apapun, alangkah ironis kalau gurunya sendiri tidak pernah sedikitpun menjamah teknologi informasi yang kini telah merambah kesemua sisi kehidupan manusia atau dengan kata lain sudah mendunia.

Berbagai pernyataan para pejabat yang berwenang dalam dunia pendidikan menyatakan kondisi guru yang masih memprihatinkan dalam hal menggunakan komputer, apalagi internet. Seperpti yang dinyatakan oleh Manuntun Sagala dari Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samosir, guru kini banyak yang tidak fasih menggunakan komputer, apalagi internet. Para guru menggunakan komputer sekedar untuk mengetik dengan MS Word itupun tidak paham semua fasilitas di program itu, apalagi mendengar Email, Browsing web, dan lainnya guru merasa asing.
Kondisi guru yang gagap TIK tidak hanya didominasi oleh para guru di luar pulau Jawa, seperti yang ditemukan di kasus Jawa Timur, di sana sebagian besar guru-guru yang mengajar di madrasah sangat sedikit yang memanfaakan komputer apalagi internet. Pada umumnya guru baru mampu menggunakan komputer hanya sebatas keperluan administrasi baik kepentingan kantor maupun kepentingan penyusunan PAK (Penetapan Angka Kredit) dalam kaitannya dengan kenaikan pangkat jabatan fungsional guru. Di Jatim ebagian besar guru belum terbiasa menggunaan internet baik untuk proses pembelajaran maupun kegiatan sosial lainnya.

Beberapa pakar TIK menyatakan bahwa sebenarnya manusia, termasuk guru mempunyai potensi kecakapan dalam hal penggunaan komputer dan internet dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lainnya. Salah pakar tersebut menyatakan tersebut adalah Ersis Wirmansyah Abbas dari UNLAM, Banjarmasin, mengatakan bahwa kita oleh Alloh SWT batok kepala manusia berisi satu milyar sel saraf (neuron), setiap neuron aktif bisa berkoneksi dua puluh ribu, jadi orang (termasuk guru) jangan lagi self-image bodoh, karena pada hakekatnya kita semua adalah born to be a genius. Ini yang menggambarkan betapa guru-guru merasa kurang pede dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran maupun dalan kehidupan sosialnya. Ini dapat dimaklumi banyak guru masih gagap TIK dimungkinankan karena sudah tua, dan merasa sudah tidak perlu lagi belajar yang canggih, kadang bahkan menyerahkan hal ini kepada pada guru yang masih yunior. Ini mengingatkan kepada para instruktur pelatihan komputer dan TIK bagi para guru dalam penyampaiannya harus lebih pada praktek daripad teori.

PR IV UNNES Semarang, Prof. Fathur Rohkman mengatakan sekitar 60 % guru SD, SMP dan SMA belum familiar dengan komputer, terutama pendidika yang ada di pelosok dan pedesaan. Menurutnya dari pelatihan guru yang pernah diselenggarakan di UNNES, masih banyak guru yang belum tahu menggunakan mouse, padahal hampir semua kegiatan saat ini tidak bisa lepas dari komputer termasuk di bidang pendidikan. Dalam kesempatan yang sama Dr. Supriadi Rustad, PR I UNNES mengatakan, Indonesia baru sampai level applying menuju transforming, karena ICT masih dijadikan sebagai mata pelajaran dengan dimasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Masyarakat dikatakan pada levev integrating bila ICT untuk proses pembelajaran, sementara level transforming biada ICT untuk transformasi pendidikan.

Bagian yang sedikit dalam prosentase yang sudah maju dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran memang telah ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan lainnya. Seperti yang ada pada salah satu di SD di Jakarta yaitu tepatnya di SDN Menteng 3, dimana setiap hari Rabu, murid 4A mendapat jatah untuk belajar di ruang laptop. Selama murid belajar dengan menggunakan laptop, proses belajar menjadi sangat efektif, tidak perlu mencatat materi pelajaran dari papan tulis, karena sudah tersistem pada laptop masing-masing. Murid tidak bosan, dan merasa senang karena banyak gambar menarik khususnya pelajaran sains. Setelah belajar Metematika dan IPA, boleh main game, buka internet dan kirim email. Game di sini masih ada hubungannnya dengan pelajaran.

Menurut pengakuan adari salah satu guru di SDN Menteng 3, Harry Pujianto mengaku mengajar dengan menggunakan laptop sangat menantang, menimbulkan rasa ingin tahu, dapat membedakan keberhasilan pembelajaran menggunakan laptop dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan cara konvesional. Murid lebih menyukai pelajaran Matematika dan IPA. Kondisi ini sangat berlainan pada kondisi umumnya dimana siswa biasanya merasa takut dan tidak pede terhadap mata pelajaran yang berbau eksakta, atau pelajaran yang melibatkan hitung-menghitung, dan juga mata pelajaran yang menggunakan praktek dalam laboratorium seperti pembelajaran sains.

C. Kebijakan dan Upaya Pimpinan dalam Mendukung Pemanfaatan TIK
Kadang sebuah penghargaan maupun sertifikai bukan merupakan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah lembaga sekolahan, tetapi penghargaan maupun sertifikai yang diterima dapat menjadi pendorong atau motivasi dalam pemanfaatan TIK oleh para guru, disamping sebagai kebanggaan akan identitas sebuah sekolah yang mempunyai keunggulan dalam berkompetitif dalam dunia pendidikan. Beberapa institusi atau lembaga baik provit maupun nonprovit dirasa perlu memberikan berbagai penghargaan stratafikasi untuk mendorong dan memacu sekolah untuk terus mengembangkan potensinya, khususnya dalam hal pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran yang melibatkan para guru yang terlibat langsung. Dilapangan ditemukan perusaan bisnis BUMN telah memberikan berbagai sertifikai yaitu PT Telkom, seperti yang terjadi pada sekolah yang telah berhasil dalam prestasi khusus, sekolah tersebut telah mendapatkan sertifikai, seperti SMP Negeri 8 Palembang sebagai sekolah bebas buta internet.

Peran pimpinan atau kepala sekolah sangat penting dalam memajukan sekolah, khususnya penguasaan para guru dalam pemanfaatan TIK. Pimpinan yang tidak sigap dalam adaptasi dengan perkembangan teknologi dapat mengakibatkan kebijakan yang menjadikan guru gagap teknologi, padahal ini bisa jadi mengakibatkan hilangnya daya tarik dalam proses belajar. Terlebih dalam era informasi ini, tanpa adanya kemauan untuk mengerti, menggunakan, dan mengakses bidang yang relevan dengan keilmuannya maka fungsi guru sebagai fasilitator perkembangan ilmu akan tereduksi yang lama-lama bisa jadi hilang, sehingga yang ada hanyalah guru yang miskin informasi.

Para kepala sekolah yang mempunyai komitmen terhadap kemajuan sekolahnya pasti melakukan langkah-langkah konkrit dalam memajukan guru dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Di sekolah-sekolah yang berada di wilayah perkotaan lebih mudah dikembangkan daripada di pedesaan yang saran dan prasaranya kadang belum lengkap atau tersedia. Di SMAN 11 Kota Jambi misalnya, kepala sekolah dalam menerapkan dan menyambut serbuan beragam teknologi informasi, adalah dengan membekali para guru dengan kursus komputer dan internet, tidak hanya guru yang mengajar di labaratorium komputer saja yang harus mengerti perangakat tersebut, tetapi guru-guru bidang lain harus mengikuti. Kondisi ini diyakini berlaku pada sekolah-sekolah lain di tanah air ini.

Kebijakan yang kita acungi jempol adalah kepada Depdiknas, dimana departemen ini akan mempercepat pengadaan sarana TIK pada berbagai jenjang sekolah dengan akan meluncurkan anggaran 1 triliun pada tahun 2008 ini, gebrakan ini dilakukan dengan membangun berbagai pusat sumber atau resource center di sekolah-sekolah. Kebijakan Depdiknas ini seperti yang diungkap oleh Lilik Gani dari staff Depdiknas. Kita akan menunggu realisasi dari kebijakan ini, jika benar adanya harapan akan tanda-tanda keseriusan pemerintah memajukan dunia pendidikan akan terwujud, khususnya bidang TIK di dalam dunia pendidikan.

Beberapa sekolah sebenarnya telah proaktif dalam menyiapkan sarana, dengan kebijakan tertentu, sekolah dapat meluncurkan program maupun memulai aksi nyata. Seperti kini beberapa sekolah di kota Solo, mulai dan telah melaunching sarana laboratorium komputer multimedia untuk menyongsong era TIK dalam pendidikan dan telah menyiapan guru-gurunya dalam penggunaan atau pemanfaatannya pada pembelajaran, dan pada akhirnya akan menentukan program ini akan berjalan baik atau tidak.

Gebrakan kebijakan tidak cukup hanya pada tingkat dinas pendidikan, tetapi para kepala daerah baik itu gubernur ataupun bupati atau walikota harus mau dan sanggup mengeluarkan kebijakan yang signifikan dalam mamajukan dunia pendidikan khususnya dalam pemanfaatan TIK ini. Seperti pada pemda Tanah Datar, Sumbar, telah meluncurukan programnya yaitu untuk melengkapi fasilitas komputer di sekolah-sekolah, maka dilaksanakan program One School One Computer Laboratorium (OSOL) satu sekolah satu laboratorium komputer. Melalui progam ini diharapkan guru maupun siswa tidak gagap teknologi, khususnya dalam penguasaan ketrampilan komputer sebagai ciri kemajuan suatu masyarakat.
Kebijakan pemerintah juga dipertegas oleh Menko kesra, beliau mengatakan bahwa pemerintah pada tahuan ini akan mengalokasikan dana dari APBN sebesar 2 triliun untuk program satu komputer bagi 20 siswa di tingkat SMP dan SMA di seluruh Indonesia. Menurutnya sampai saat ini untuk murid SMA baru 1 banding 1000, ini belum komputer yang dapat dimanfaatkan oleh para guru.

Menurut Ari Kristianawati (Sinarharapan, 29 April 2008), para guru tidak hanya gagap dalam beradaptasi denagan kemajuan ilmu pengetahuan, mereka juga terjebak dalam kebiasaan menjadi robot kurikulum pendidikan, sehingga prakarsa dan inisiatif para guru untuk belajar menggali metode, bahanajar dan pola relasi belajar mengajar yang baru sangat minimalis. Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, disebabkan pertama, faktor strutural, selama orba guru dijadikan bemper politik Golkar, agen pemenangan melalui Korpri dan PGRI. Kedua, kuatnya politik pendidikan, mengontrol arah dan sistem pendidikan membaut apara guru seperti root yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, ini membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, dan selalu mengurusi keluarga.

Dra. Rosmawati, MPd, Kepala SMPN 2 Dumai, menyatakan di institusinya telah dikembangkan rintisan sekolah bertaraf interasional (SBI) dengan menerapkan program bilingual dalam praktek belajar mengajar di sekolah. Khusus untuk guru mata pelajaran sains dan matematika, pemberian materi dengan menggunakan bahasa inggris, disamping itu guru diwajibkan menguasai pemanfaatan ITC.

D. Pendidikan, Pelatihan, Praktek Pemanfaatan TIK
Kebutuhan akan kemampuan para guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran telah direspon sangat positi oleh beberapa ekolah. Kenyataan dilapangan ditemukan bahwa beberapa sekolah telah memberikan pelatihan dan atau mengirikan para guru menginkuti pelatihan komputer dan internet. Ini dilakukan oleh pimpinan sekolah dengan maksud agar para guru tidak gagap terhadap pemakaian komputer dalam pemanfaatan TIK. Seperti yang telah terjadi dan dilakukan oleh SMP Negeri 8 Palembang, tidak hanya guru pemegang mata pelajaran TIK yang dikirim mengikuti pendidikan pemanfaatan TIK, tetapi semua guru mata pelajaran juga dikirim untuk mengikuti pendidikan maupun pelatihan atau kursus.

Walaupun fasilitas internet sudah ada, guru-guru telah dikirim untuk mengikuti pelatihan dan kursus komputer dan internet, namun dilapangan ditemukan adanya kendala. Misalnya saja di beberapa sekolah di Kabupaten Toba Samosir, guru tidak dapat mengoptimalkan pemakaiannya, mengingat tidak adanya staf TI khusus yang ahli, sehingga berbagai kelemahan dalam penggunaan sarana TI oleh guru tidak ada sumber untuk bertanya. Ada kasus yang dirasa lucu, dimana guru menyuruh siswa ke warnet untuk belajar email, dan setelah siswa tersebut dapat menggunakannya, guru belajar pada muridnya.

Peran lembaga atau institusi dilura sekolah juga sangat diperlukan dalam andilnya dalam memajukan dunia pendikan dasar dan menengah. Mereka yang peduli telah turut aktif memberikan kemampuan para guru dalam menggunakan komputer maupun internet, seperti pada Jurusan Teknik Informatika FTI-ITS Surabaya telah mengadakan workshop pemrograman bagi 53 guru dari 12 madrasah dari 3 kota di Jatim. Menurut pemrakarsa kegiatan ini, ke depan para guru madrasah di Jatim tidak gagap teknologi lagi, karena mereka telah dilatih untuk mengaplikasikan piranti lunak (software) pembelajaran berbasis multimedia yang diharapkan dapat membantu mengembangkan pola pembelajaran bagi siswanya.

Tidak ketinggalan apa yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Merauke Papua, daerah paling timur wilayah Indoneisa ini telah mengadakan petihan komputer bagi guru-guru dan PNS walaupun materi masih dalam taraf tingakat dasar. Materi yang disajikan adalah mengenai aplikasi perkantorlan (word, excel, powerpoint, dan internet). Ini menunjukkan bahwa sebenarnya greget dari berbagai penentuk kebijakan di daerah dalam memajukan pendidikan dengan cara memajukan guru dalam kemampuan pemanfaatanTIK cukup baik.

Tidak hanya pelatihan praktis dan teknis dalam menndorong guru mau memanfaakan TIK yang ada dalam pembelajaran, tetapi kegiatan yang sifatnya mendorong dan memotivasi guru juga perlu diadakan secara terus menerus. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jatim misalnya, lembaga ini telah mengadakan workshop Penelitian Tindakan Kelas bagi 150 guru di kabupaten Pasuruan, Jatim. Workshop ini dimaksudkan agar semangat para guru untuk menulis dan membaca lebih terpacu, semangat itulah yang akan otomatis mendorong guru bersinggungan dengan pemanfaatan TI, tukasnya.

Peran perguruan tinggi sebagai gudangnya para pakar dan ahli sudah selayaknya peduli atas usaha kemajua diinginkan oleh para guru. Seperti yang dilakukan UNILA Lampung, Drs. Rudi Ruswandi, Msi, Ketua Jurusan Matematika UNILA, Lampung menyatakan, institusinya telah menyelenggarkan pelatihan jejaring pendidikan nasional (jardiknas) se kota Bandar Lampung yang diikuti oleh 78 kepala sekolah. Para peserta diharapkan dapat mengambil manfaat dan kedepannya dapat melaksanakan program sekolah yang sinergis dengan jardiknas, juga dimaksudkan agar para guru dan kepala sekolah jangan sampai gagap teknologi dan tidak mampu memanfaatkan TIK.

E. Kendala Guru Dalam Penggunaan dan Pemanfaatan TIK
Beberapa kendala yang dihadapi guru dalam pemanfaatan TIK adalah adanya kendala internal, seperti kesibukan jam mengajar di berbagai tempat, maupun kendala eksternal seperti ketersediaan akses internet dan waktu pelatihan sendiri.

Kendala internal dan eksternal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah ”pembenaran” untuk tidak melakukan hal-hal yang dibutuhkan. Artinya, berpatokan pada peribahasa ”dimana ada kemauan disitu ada jalan” kita memang harus mempersiapkan diri menyongsong era baru dalam berkomunikasi dengan berbagai informasi yang ada.

Menurut Bona Simanjuntak, Aktivis Jaringan Informasi Sekolah (JIS), di salah satu kecataman di Deli Serdang, internet dan komputer menjadi barang yang terlalu mahal dan langka. Ia dan rekannya telah menggelar training on trainers (TOT) bagi guru-guru di kawasan sekolah kejuruan (SMK), dimana rasio komputer dengan siswa di daerah tersebut mencapai 1:100, artinya satu komputer untuk melayani kebutuhan 100 guru.
Ada guru-guru di Deli Serdang terpaksa mengajar komputer dengan imajinasi dan penjelasan verbal saja, kendala ini disebabkan oleh tidak adanya fasilitas komputer sungguhan untuk digunakan siswa, padahal belajar komputer lebih efektif melalui praktek.

Menurut Drs. Isjoni Ishaq, dekan FKIP UNRI Riau, kendala para guru dalam penggunaan komputer dan TIK adalah ketidakmampuan guru dalam berbahasa inggris, dimana bahasa inggris sangat dominan dipakai dalam pengoperasional komputer dan TIK. Hal ini ditekankan mengingat guru punya andil besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

Beberapa siswa di Surabaya mengaku merasa lebih lihai (pandai) dalam hal penggunaan telepon seluler, ini terbukti dalam berbagai rasia yang dilakukan oleh sekolah terhadap gambar porno maupun video porno yang ada di ponsel siswa, ternyata banyak yang lolos, tak terdeteksi, mengingat guru banyak yang tidak pengalaman dalam hal pemakaian ponsel yang canggih daripada siswanya. Mungkin ini disebabkan oleh daya beli guru terhadap model HP lebih rendah dari pada orang tua siswa dalam beberapa kasus. Ini sebenarnya kendala yang yang tidak kentara bagi guru dalam hal pemanfaatan TIK kaitannya dengan penggunaan ponsel oleh siswa.

Menurt Doni B.U., Msi., kini telah ada kesenjangan digital sebagai isu science fiction semata yang diciptkan oleh sekelompok ekslusif manusia pemuja teknologi informasi, atau ada menyebut sebagai digital divide. Menurutnya kesenjangan digital akhirnya hanya dipahami sebagai gap antara pemilik/ pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki atau mengunakan teknologi. Kaum the have diyakini sebagai pihak pertama yang mengada-ada adanya istilah kesenjangan teknologi yang mengkontraskan kelompok kedua. Hal ini bisa menimbulkan rasa pesimistik bagi para guru dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK.

Baskoro, dari Lembaga Pendidikan Kolose Kanisius mengatakan bahwa guru kadang dituntut agar cepat beradaptasi dengan misi dan visi institusi yang menurut pemahamannya terlalu berat bagi guru, karena tidak memulai dari tahapan yang tepat dalam peningkatan penguasaan penggunaan TIK bagi guru, sementara tuntutan dan target sekolah ke jenjang nasional, bahkan internasional sebagai hal yang kontradiktif.

Agus Nasihin, pebisnis komputer, mengatakan bahwa sekarang guru dihadapkan peda bayangan bahwa mengunakan komputer dapat mempermudah keperluan hidup, sementara pada sisi lain dimunculkan isu bahwa penggunaan koomputer adalah sebagai apresiasi penghargaan terhadap para genius man yan membuat komputer itu sendiri. Ini kedengaran lucu memang, ada orang mengatakan menggunakan komputer itu identik sebagai bentuk menglarisi produk komputer. Ini gawat, guru bisa pasif dan apatis dalam pemanfaatan TIK.

Masih ada guru yang beranggapan tidak menggunakan komputer dan TIK dalam proses pembelajaran bukan hal mengganggu jalannnya pelajaran, karena guru merasa tidak mendapatkan fasilitas komputer saat mengajar, jadi inilah yang membuat mereka merasa tidak perlu untuk tahu cara menggunakan komputer. Kasus ini terjadi pada guru-guru yang sudah berusia tua, walaupun yang guru yang yunior pun masih ada yang gagap pada kemanjuan TIK.

Menurut Machfud dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Timur (20 April 2008), dilema yang muncul di lapangan, dari berbagai upaya yang telah dilaksanakan untuk membantu para guru mengenala TIK, terganjal di tengah jalan, penyebabnya adalah; 1) takut akan kesalahan yang diperbuat, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan media; 2) merasa usianya sudah tua, sehingga kurang bermanfaat bagi dirinya; 3) kurang memahami bahasa teknik TI (bahasa inggris); 4) banyaknya rutinitas di luar pelajaran TIK.

Menurut Gunawan (Jawa Pos, 26 Januari 2008), di lapangan tenaga pendidik hanya banyak disuguhi berbagai diklat, pelatihan dengan materi yang berkisar pada kurikulum, pakem (contextual learning), MBS (manajemen berbasis sekolah) dan materi lain yang berhubungan langsung dengan tugas guru di kelas. Jarang ada pelatihan guru yang bersifat pembekalan tentang suatu ketrampilan atau keahlian khusus, misalnya aplikasi TIK, padahal pelatihan seperti ini tidak kalah penting dan bermanfaat bagi guru, terutama guru yang masih gagap teknologi. Menurutnya ada beberapa faktor yang menjadikan para guru masih gagap TIK, pertama, Lokasi, bagi guru yang mengajar di daerah terpencil, teknologi canggih seperti komputer bukanlah sesuatu yang urgen untuk dikuasai karena kebutuhan untuk menggunakan sangat rendah. kedua, kesadaran yang asih rendah mengenai mengenari ati penting teknologi untuk menunjang profesi guru dalam menyelesaikan tugas, Ketiga, tidak adanya eksempatan dan peluang untuk bisa lebih dekat dengan teknologi canggih.

Menurut TH Aribowo, Guru SMKN 3 Banjarbaru, Kalsel (Radar Banjarmasin. 28 Maret 2008) faktor penghambat guru dalam memanfaatkan ICT adalah pertama, ketidakadanya komputer baik laptop maupun PC sehingga dirasa masih belum seimbang peralatan yang disediakan di sekolah sementara komputer pribadi belum punya. Kedua, adalah faktor penghampat yang ada hubungannya dengan rasa malas karena tidak adanya waktu untuk mempelajari. Ini terjadi karena guru yang baik dan benar harus menguasai 10 kompetensi guru, waktu 24 jam masih kurang karena banyaknya kewajiban yang hrus dipenuhi.

Sumber :http://www.sunarnomip.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=26#CommentForm

Penjelasan tentang metadata

Dipostkan Oleh : Darwanto
penulis : Oleh Musnanda Satar
Selasa, 02 Januari 2007

Dalam pengelolaan database istilah informasi bukan merupakan istilah baru, metadata telah menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan informasi dan data.

Metadata dapat diartikan sebagai struktur informasi yang menjelaskan, menerangkan, menunjukkan lokasi yang memungkinkan untuk mempermudah memanggil kembali, mengelola sebuah sumber informasi. Secara lebih mudah sering disebutkan sebagai data atau informasi mengenai informasi.

Istilah metadata digunakan secara berbeda oleh institusi atau pengguna yang berbeda, ada yang menekankan pada pengenalan computer/sistem atas data tetapi ada juga yang menekankan pada catatan yang menjelaskan data tersebut. Dalam manajemen perpustakaan metadata secara formal merupakan sebuah skema atau sumber penjelasan yang menggambarkan tipe dari obyek, digital atau non digital.

Katalog perpustakaan tradisional merupakan salah satu bentuk dari metadata.

Ada 3 tipe utama dari metadata, yaitu:

1. Metadata Deskriftif; yang menjelaskan sumber untuk tujuan pencarian dan identifikasi. Biasanya berisi elemen; judul, abstrak, pengarang dan kata kunci.
2. Medatata Struktural: yang mengidentifikasikan bagaimana data terbentuk, misalnya menjelaskan bagaimana bentuk bab.
3. Medata Administratif: menyediakan informasi yang membantu proses manajemen data, misalnya menjelaskan kapan dan bagaimana data terbentuk, serta informasi teknis lain serta bagaimana , mengaksesnya. Ada beberapa tipe dari metadata administratif yang dibagi atas; metadata pengelolaan hak cipta, yang berhubungan dengan hak cipta suatu data; preserve/penyimpanan metadata, yang lebih menekankan pada system pengarsipan untuk memastikan data tersimpan dengan baik.

Metadata dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai jenis data, mulai dari data tekstual, gambar, atau laporan yang memuat keduanya. Metadata dapat juga dimasukkan langsung dalam data, misalnya dokumen html, metadata yang ada sudah menempel langsung didalam data html. Hal ini menjelaskan bahwa metadata bisa tersimpan secara bersamaan dengan data/informasi yang dijelaskan atau bisa juga terpisah. Biasanya metadata disimpan secara tepisah dengan datanya, metadata yang dibangun ini berhubungan langsung dengan data yang dibuat dan setiap perubahan dalam data harus juga diupdate dalam metadatanya.

Apa yang bisa dilakukan dengan metadata?

Ada banyak yang bisa dilakukan dengan metadata, metadata dibangun sesuai dengan tujuannya. Tujuan umum pembangunan metadata adalah untuk memberikan penjelasan yang memungkinkan proses mencarian data bisa dilakukan. Sebagai tambahannya adalah memungkinkan data bisa diorganisir, interpretasi serta memungkinkan integrasi. Fungsi utama metadata antara lain;

1. Membantu Pencarian Data.
Dengan cara;
* Memungkinkan data bisa ditemukan sesuai dengan criteria yang diinginkan;
* Mengidentifikasi sumber data;
* Mengumpulkan data yang sama;
* Membedakan data dengan sumber/informasi yang berbeda;
* Memberikan informasi lokasi data disimpan.
2. Mengatur Sumberdata Elektronik
Sejalan dengan semakin besarnya jumlah data, semakin banyak data dalam suatu system informasi yang dibangun, maka diperlukan suatu system yang mampu mengatur data tersebut. Misalnya perkembangan dalam dunia internet, semakin banyak data html yang dibuat, harus dibarengi dengan bentuk pengelolaan data, sehingga data data diolah secara lebih cepat, efesion, dikelompokkan sesuai dengan kategori yang dibuat.
3. Interoperability/Multi Sistem Operasi
Dalam pengelolaan data lebih sering dilakukan bukan hanya satu jenis data dengan system yang berbeda operasi-nya. Pembangunan metadata dengan menggunakan protocol yang sama memungkinkan dilakukan manajemen data dari system yang berbeda. Salah satu bentuk protocol yang sering digunakan adalah protokal Z39.50 yang merupakan protocol lintas system operasi.
4. Identifikasi Secara Digital
Kebanyakan skema metadata menggunakan standar angka yang sifatnya unik untuk tujuan identifikasi. Lokasi dari suatu data dapat juga dibuat dalam suatu system penamaan, misalnya system URL (Uniform Resource Locator) merupakan suatu system penentuan lokasi yang mengacu pada data tertentu. Perubahan alamat data bisa membuat system pendataan invalid. Penentuan system penamaan, standarisasi memungkinkan obyek data dapat ditelusuri.
5. Arsip dan Perawatan
Seringkali disebutikan bahwa data digital merupakan data yang ‘rentan’, bisa saja rusak, korup, atau terhapus. Perubahan system data, peralihan dari satu system operasi dapat membuat data rusak. Metadata menjadi kunci dalam system penyimpanan data, dengan mengetahui informasi mengenai suatu data, maka dapat dilakukan proses pengelompokan data, penyimpanan serta pemanggilan kembali data secara teratur.

* Musnanda Satar, Praktisi GIS
http://www.geografiana.com/makalah/teknologi/memahami-metadata

Teknologi Informasi untuk Perpustakaan

Teknologi Informasi untuk Perpustakaan

Kenyataan bahwa pada era informasi abad ini, teknologi informasi dan komunikasi atau ICT (Information and Communication Teclznology) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan global oleh kita karena itu setiap institusi termasuk perpustakaan berlomba untuk mengintegrasikan “ICT” guna membangun dan memberdayakan civitas akademikanya berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global. Dalam menyikapi perkembangan ICT pada era informasi tahun ini, Perpustakaan berbasis teknologi informasi (komputerisasi) sangat di butuhkan.. Keberadaan perpustakaan berbasis komputerisasi dapat meningkatkan kualitas dan kecepatan proses layanan pada pengguna perpustakaan sehingga dapat memperlancar proses belajar-mengajar di lingkungan Sekolah. Selain itu sistem ini dapat membantu manajemen perpustakaan serta dapat meningkatkan Efektifitas dan efisiensi penatalaksanaan perpustakaan

Pustakawan berpotensi menjadi seorang manajer informasi. Peranan baru itu mensyaratkan penguasaan berbagai macam keterampilan, pengetahuan dan kemampuan. Dengan begitu, mereka dapat mengakses dan menyebarkan informasi berbantuan komputer dan teknologi telekomunikasi dari perpustakaannya. Salah satu pendekatan yang sangat mungkin dilakukan dalam hal ini ialah dengan memanfaatkan teknologi internet. Pustakawan secara proaktif dapat memperkenalkan perpustakaannya ke lingkungan sekolah, bisnis, institusi, akademis dan masyarakat seluas-luasnya melalui situs web.

Sekarang bukan jamannya lagi mencari-cari buku dari katalog kusam di perpustakaan. Peran Teknologi Informasi (TI) telah banyak digunakan untuk memudahkan para pengguna perpustakaan menemukan buku favoritnya. Dengan hanya mengetik judul buku atau nama pengarang pada layar komputer, informasi mengenai posisi serta keberadaan buku yang kita cari pun akan segera tersaji di layar komputer.

Perkembangan perpustakaan berbasis teknologi informasi bagi pengelola perpustakaan dapat membantu pekerjaan di perpustakaan melalui fungsi otomasi perpustakaan, sehingga proses pengelolaan perpustakaan lebih efektif dan efisien. Fungsi otomasi perpustakaan menitikberatkan pada bagaimana mengontrol sistem administrasi layanan secara otomatisl terkomputerisasi. Sedangkan bagi pengguna dapat membantu mencari sumber informasi yang diinginkan dengan menggunakan catalog on-line yang dapat diakses melalui internet, sehingga pencarian informasi dapat dilakukan kapan dan dimanapun ia berada.

Idealnya, setiap perpustakaan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi untuk mendukung pengelolaan koleksi perpustakaan. Diperlukan beberapa perangkat untuk pengelolaan perpustakaan berbasis Teknologi Informasi.

1.Komputer
Komputer diperlukan untuk menerima dan mengolah data menjadi informasi secara cepat dan tepat. Perangkat komputer ini akan digunakan untuk menyimpan data koleksi buku data anggota perpustakaan, dan OPAC (Online Public Accses Catalogue). Dengan OPAC, para pelanggan perpustakaan bisa mencari informasi koleksi buku yang mereka butuhkan tanpa harus mencari secara langsung. Komputer itu juga bisa dikoneksikan ke internet. Kemudian setelah mempunyai koleksi digital, maka kita memerlukan pula komputer yang mempunyai performa yang cukup tinggi sebagai sarana untuk menyimpan serta melayani pengguna dalam mengakses koleksi. Sebuah komputer dengan processor pentium 4 dengan hard disk sebesar 40 giga, memory 256 Mega bytes adalah spesifikasi komputer minimal.
2. Internet
Di antara manfaat internet untuk pengelolaan perpustakaan adalah sebagai peranti untuk mengakses informasi multimedia dari internet, serta sebagai sarana telekomunikasi dan distribusi informasi. Koneksi internet juga bisa dimanfaatkan untuk membuat homepage perpustakaan, yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan katalog dan informasi.Kecepatan jaringan yang diperlukan jaringan intranet (layanan lokal) maupun internet (layanan global) adalah Jaringan 100 Mbps mutlak diperlukan untuk jaringan intranet, dan koneksi internet minimal 128 Kbps untuk layanan internet.


3.Software
Untuk mempermudah penyajian informasi, diperlukan software khusus untuk mendukung pelayanan perpustakaan. Ada beberapa jenis software yang umum digunakan di perpustakaan berbasis IT baik yang berbasis offline maupun online (open source), di antaranya Athenaeum Light, Freelib dan Senayan Open Source Library Management System.
AthenaeumLight
Kata Athenaeum diambil dari bahasa Yunani, yang artinya perpustakaan atau reading room. Nama ini digunakan oleh Sumware Consulting NZ untuk nama produk perangkat lunak ‘gratisan’ yang mereka buat. Atheaneum Light 8.5.vi merupakan versi modifikasi dari Athenaeum Light 6.0. yang telah melalui proses konversi menggunakan Filemaker 8.5 dengan kemampuan lebih baik, robust serta mampu mengelola data hingga 8 Tera byte. Athenaeum Light 8.5 ini hanya dapat bekerja pada OS Windows XP dan 2000 service pack 4, dengan processor minimal Pentium 3 atau lebih tinggi.
Dengan software ini para pustakawan akan sangat terbantu dalam pengelolaan perpustakaan, dari proses katalog, input daftar anggota, OPAC, peminjaman, pengembalian, informasi, serta klasifikasi koleksi buku. Pengelola perpustakaan pun tak perlu lagi repot membuat barcode, karena secara otomatis, barcode akan muncul saat pengklasifikasian buku.

Freelib
Freelib merupakan singkatan dari Freedom Library yang diambil dari nama Perpustakaan Freedom, yang pertama kali menerapkan aplikasi software ini. Sampai saat ini, Freelib sudah menginjak versi 3.0.2 untuk aplikasi katalog, manajemen versi 1.0.2 sedangkan untuk Linux versi 0.0.4. Spesifikasi hardware yang direkomendasikan minimal pentium 3, 600 Mhz dengan memori 64 Mb. Untuk versi Linux, spesifikasi hardware yang dianjurkan lebih tinggi, minimal pentium 4 dengan memori minimal 128Mb

Senayan Open Source Library Management System

Senayan Open Source Library Management System merupakan Software perpustakaan buatan Pusat dan Informasi dan Humas Depdiknas dapat di peroleh secara gratis, Kriteria komputer yang disarankan Pentium III class processor 256 MB, RAM Standard VGA with 16-Bit color support, Optional tampilan yang ada di software ini adalah menu peminjaman, pengembalian, penelusuran, anggota, laporan, cover buku. Pada system sirkulasi peminjaman buku mengggunakan Barcodes reader untuk scan barcode dengan ini memudahkan pustakawan. Dapat berjalan pada windows XP, Vista dan Linux.

Selain Athenaeum Light dan Freelib, Senayan Open Source Library Management System masih ada banyak software lain seperti CDS/ISIS, Open Biblio, IBRA, LIBRA, SIMPEL, Chyprus, dan lain lain. Rata rata program itu merupakan open source dan dibuat secara khusus untuk perpustakaan.

Penerapan perpustakaan berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan kualitas dan kecepatan proses layanan pada pengguna perpustakaan, sehingga dapat memperlancar proses belajar mengajar di lingkungan sekolah. Selain itu sistem ini dapat membantu manajemen perpustakaan serta dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengoperasional perpustakaan.

Kemudahan yang ditawarkan teknologi itu harus dimbangi dengan meningkatnya sumber daya manusia (SDM) para pustakawan. Mereka harus memahami dan dapat mengaplikasikan segala kemajuan teknologi itu untuk kepentingan perpustakaan. Karena akan sia-sia saja program-program itu diciptakan, jika tidak dimanfaatkan.

Teknologi Informasi di Perpustakaan

TEKNOLOGI INFORMASI PERAN DAN FUNGSINYA

DALAM DUNIA PERPUSTAKAAN

oleh: Achmad Djunaedi
di Poskan oleh : Darwanto, S.Sos



Pendahuluan

Makalah ini ditulis sebagai bahan ceramah dalam acara "Forum Komunikasi D-III Perpustakaan Fisipol UGM" yang bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai calon pustakawan profesional dalam era informasi, pada hari Sabtu 20 September 1997, di Ruang Seminar Fisispol UGM. Mengacu pada tujuan tersebut, makalah ini disusun dari dua arah. Pertama, sekilas mengkaji kegiatan pelayanan perpustakaan; kedua, membahas perkembangan teknologi informasi; dan ketiga mempertemukan tuntutan pelayanan perpustakaan yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi. Dalam makalah ini, istilah teknologi informasi diartikan sebagai perpaduan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi.

Sekilas Kegiatan Pelayanan Perpustakaan

Kegiatan pelayanan perpustakaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penyedia layanan dan dari sisi pemakai layanan. Dari sisi penyedia layanan, kegiatan pelayanan perpustakaan meliputi:

1. Pengadaan pustaka: pembelian, pelangganan, pencarian/pengumpulan.
2. Penyiapan pustaka: antara lain, pemberian label, dan katalogosasi.
3. Pemberian layanan: antara lain, penempatan pustaka di rak, pengeluaran pustaka untuk dipinjamkan (sirkulasi), dan seringkali pula: mencarikan pustaka atas permintaan pengguna layanan.
4. Pemeliharaan pustaka: perbaikan dari kerusakan, pemeliharaan agar tidak rusak, penyimpanan dalam media lain (misal: dari buku ke CD-ROM).

Selain itu, penyedia layanan juga menyediakan ruang beserta sarana-prasarana yang diperlukan untuk kegiatan penggunaan layanan perpustakaan.

Dari sisi pengguna layanan, terdapat beberapa kegiatan sebagai berikut:

* Mencari pustaka: mencari dari katalog, menelusuri rak-rak buku.
* Membaca/memanfaatkan pustaka (di ruang perpustakaan)
* Meminjamkan pustaka (untuk dibawa ke luar perpustakaan)

Seringkali pengguna layanan juga melakukan kegiatan menyalin isi pustaka dengan cara menulis di buku catatannya atau mengfotokopi isi pustaka. Selain itu, sering pula pengguna layanan meminta bantuan staf perpustakaan untuk mencari pustaka.

Pustaka yang dimaksud di atas meliputi media cetak (antara lain: buku, majalah, surat kabar), media elektronis (antara lain: berkas elektronis di disk, CD, internet) dan media foto/slide.

Perkembangan Teknologi Informasi

Seperti dijelaskan di atas, teknologi informasi merupakan gabungan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi data. Teknologi komputer, secara umum, dapat dikatakan terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras terdiri dari:

1. Peralatan pemasukan data (input): antara lain, keyboard, bar code scanner
2. Peralatan pengolahan data (processor): CPU (Central Processing Unit)
3. Peralatan penampilan keluaran data (output): layar/monitor, pencetak/printer
4. Penyimpanan data (storage): disket, hardisk, CD.

Kemajuan teknologi perangkat keras cenderung menuju pengecilan ukuran perangkat keras, tetapi dibarengi oleh peningkatan kecepatan pengolahan dan penampilan data serta pelipatgandaan kapasitas penyimpanan. Selain itu, harga semakin relatif lebih murah.

Untuk mengendalikan perangkat keras diperlukan perangkat lunak. Secara umum, perangkat lunak dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu yang pertama: kelompok aplikasi umum, dan yang kedua: aplikasi khusus. Aplikasi umum digunakan oleh "semua" kegiatan, antara lain meliputi:

1. Perangkat lunak pengolah kata (word processor): untuk menyusun dokumen tertulis/naratif.
2. Perangkat lunak pengolah angka (spreadsheet): untuk melakukan perhitungan dan membuat grafik dari hitungan.
3. Perangkat luank pengolah data (database): untuk melakukan pemasukan, pengolahan, pengorganisasian, penyimpanan dan pengambilan kembali data, secara cepat dan akurat.
4. Perangkat lunak pengolah gambar: untuk membuat gambar dan mengolah foto menjadi gambar elektronis yang mudah diubah-ubah.
5. Perangkat lunak presentasi multimedia.

Selain aplikasi yang umum, banyak terdapat pula aplikasi yang khusus dibuat untuk kegiatan tertentu, misal: perangkat lunak sirkulasi pustaka.

Data kepustakaan pada saat ini dapat diakses dari jarak jauh lewat kabel atau udarra (gelombang radio) dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Dengan berbekal komputer dan modem serta sambungan telpon, seseorang dapat menelusuri kepustakaan besar di dunia dari jarak jauh (dengan fasilitas internet). Akses dengan teknologi komunikasi semakin cepat dan berkapasitas semakin besar yang memungkinkan pengiriman gambar secara multi media dan interaktif.

Pelayanan Perpustakaan didukung Kemajuan Teknologi Informasi

Seperti dijelaskan dimuka, kegiatan pelayanan perpustakaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penyedia layanan dan dari sisi pemakai layanan. Pada kedua sisi dibahas pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung tiap kegiatan.

Dari sisi penyedia layanan, pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan pelayanan perpustakaan meliputi:

1. Pengadaan bahan pustaka: pembelian, pelangganan, pencarian / pengumpulan

Pencarian informasi pustaka yang dijual oleh penerbit di dunia dapat dilakukan lewat akses internet; demikian juga, pemesanan maupun pembelian/pembayarannya dapat dilakukan lewat internet.
2. Penyiapan pustaka: antara lain, pemberian label dan katalogisasi

Penyiapan pustaka dapat lebih lancar dan terintegrasi dengan memanfaatkan perangkat lunak umum (olah kata dan olah angka) maupun dengan perangkat lunak yang khusus dibuat untuk mendukung pengolahan pustaka.
3. Pemberian layanan

Pemberial layanan sirkulasi dan pencarian pustaka dapat didukung oleh suatu sistem informasi yang khusus dibuat untuk itu.
4. Pemeliharaan pustaka

Penyimpanan pustaka dari bentuk buku ke dalam media berupa CD dapat dilakukan dengan teknologi komputer.

Dalam era informasi, perpustakaan perlu mempunyai ruang-ruang komputer yang dilengkapi dengan jaringan komunikasi data (LAN dan akses internet) serta CD-ROM berisi informasi pustaka.

Dari sisi pengguna layanan, kemajuan teknologi informasi perlu dimanfaatkan untuk mendukung beberapa kegiatan sebagai berikut:

1. Pencarian pustaka lewat katalog dapat dilakukan dengan bantuan suatu sistem informasi perpustakaan
2. Pembacaan/pemanfaatan pustaka (di ruang perpustakaan) tidak hanya dilakukan terhadap media cetak tetapi juga terhadap media elektronis (CD-ROM), disket, hardisk) dengan bantuan sistem komputer dan teknologi komunikasi data. Dengan memanfaatkan akses jarak jauh (LAN, WAN, Internet), pengguna layanan perpustakaan tidak harus berada dibangunan perpustakaan, tapi dapat berada dimanapun untuk membaca/memanfaatkan layanan perpustakaan (situasi ini biasa disebut sebagai virtual library- lihat Smith dkk, 1995).
3. Peminjaman pustaka di era informasi tidak lagi dibatasi oleh koleksi perpustakaan setempat, tapi mendunia (karena pustaka berupa berkas elektronis). Situasi seperti ini disebut sebagai library without walls.

Untuk menyalin isi pustaka elektronis (CD-ROM, berkas internet) dapat dilakukan dengan mengkopinya ke disket milik pengguna.

Penutup: Aplikasi Teknologi Informasi Sistem Perpustakaan di UGM di masa depan

Kemajuan teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam layanan perpustakaan untuk lebih memperlancar, mempercepat dan mempernyaman layanan. Dengan teknologi informasi, semua koleksi pustaka di beberapa perpustakaan yang berjauhan dapat diintegrasikan sehingga mempermudah pencarian pustaka oleh pengguna dari manapun.

Selain keuntungan dari teknologi informasi di atas, beberapa hal masih perlu mendapat perhatian kita di UGM, antara lain:

1. Keterbatasan ketersediaan data untuk pengadaan perangkat teknologi informasi;
2. Kebiasaan membaca dikalangan kita yang belum tinggi;
3. Peran fakultas yang masih kuat (desentralisasi).

Faktor-faktor di atas, mendorong Dewan Pembina Perpustakaan (DPP) UGM (dalam draft Rencana Strategis Pelayanan Perpustakaan di UGM,1997) untuk mengusulkan suatu sistem pelayanan berklaster (cluster). Dalam sistem ini, diusulkan di UGM akan ada satu perpustakaan utama (research library) dan lima perpustakaan klaster (terdiri dari klaster-klaster: ilmu-ilmu Alam dan Matematika, Ilmu-ilmu Teknik, Ilmu-ilmu Kesehatan, Ilmu-ilmu Pertanian, dan Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora). Keenam perpustakaan ini akan dihubungkan oleh jaringan komunikasi data internal UGM (intranet) dan dunia (internet). Setiap perpustakaan klaster ditempatkan mendekati fakultas-fakultas yang dilayani (mendekati pengguna). Tiap perpustakaan klaster juga dilengkapi dengan ruang-ruang komputer, kantin, toko alat tulis/buku/fotokopi, dan ruang wadah kegiatan mahasiswa. Dengan demikian, diharapkan tiap perpustakaan klaster akan dapat menjadi pusat-pusat kegiatan mahasiswa dalam stidu di Universitas. Dalam sistem pelayanan klaster ini, dengan memanfaatkan teknologi informasi, tiap penguna suatu perpustakaan klaster dapat mengakses koleksi perpustakaan klaster lainnya secara elaktronis.

Dengan pelayanan terintegrasi lintas fakultas dan lintas klaster ini diharapkan interaksi antar ilmu makin kuat yang akan memberikan suasana lebih baik bagi suburnya pendidikan S2 dan S3 (untuk menuju Visi UGM yang akan lebih mendorong tumbuh-pesatnya pendidikan S2 dan S3 di UGM). Visi UGM lainnya untuk mewujudkan UGM menjadi "research university" didukung oleh pemfungsian Perpustakaan Utama (yang saat ini berupa Perpustakaan Pusat) sebagai perpustakaan penelitian (research library) yang mengkoleksi hasil-hasil penelitian dari pusat-pusat studi maupun dari lembaga-lembaga penelitian lainnya dan dokumen terbitan pemerintah.

Daftar Pustaka

Dewan Pembina Perpustakaan UGM, 1997.Rencana Strategis Pelayanan Perpustakaan di UGM 1996-2005, Draft April 1997. DPP UGM, Yogyakarta.

Smith, A.M.; Owen, A; dan Reece, M (editors). 1995. The internet Unleashed 1996. Sam-net Publications, Indianapolis, IN. (Terutama Part VIII: Using the Internet : Libraries).

Jumat, 15 Mei 2009

Lampung


Peresmian d lampung

Makalah Tentang Perpustakaan

Oleh : Darwanto S,Sos

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan perpustakaan tidak pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Hal ini dikarenakan perpustakaan sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Ketiganya saling mendukung satu dengan lainnya, perpustakaan memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan melalui penyimpan berbagai informasi dan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan teknologi informasi memberikan dukungan pada kemudahan akses dan sistem informasi dalam sebuah perpustakaan. Seiring dengan perkembangan ketiganya, sekarang ini dikenal adanya perpustakaan digital atau ‘digital library’ yang mampu menciptakan wadah yang lebih luas lagi bagi hubungan ketiga hal tersebut di atas. Salah satu hal yang saat ini sangat diperhatikan oleh perpustakaan, terutama perpustakaan perguruan tinggi dalam hubungannya dengan perpustakaan digital adalah pengembangan koleksi digital. Makalah ini mencoba sedikit memberikan gambaran kepada semua mengenai bagaimana istilah digital sebagai bagian dari proses pengembangan perpustakaan digital.
Tantangan baru teknologi informasi khususnya untuk para penyedia informasi adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat dan global. Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang keberadaannya sangat penting di dunia informasi, mau tidak mau harus memikirkan kembali bentuk yang tepat untuk menjawab tantangan ini. Salah satunya adalah dengan mewujudkan digital library yang terhubung dalam jaringan komputer. Digital Library (DL) atau perpustakaan digital adalah suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Istilah digital library sendiri mengandung pengertian sama dengan electronic library dan virtual library. Sedangkan istilah yang sering digunakan dewasa ini adalah digital library, hal ini bisa kita lihat dengan sering munculnya istilah tersebut dalam workshop, simposium, atau konferensi.



BAB II
DIGITAL LIBRARY (DL)

A. Penelitian Digital Library
Penelitian DL mulai berkembang pesat sejak tahun 1990 diiringi dengan kemajuan teknologi jaringan computer yang memungkinkan pengaksesan informasi dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Dimulai dengan terselenggarakannya Workshop on Digital Libraries pada tahun 1994, beberapa konferensi lain seperti Digital Libraries (DL) yang disponsori oleh ACM, kemudian Advances in Digital Libraries (ADL) yang disponsori oleh IEEE/NASA/NLM, secara kontinue diselenggarakan. Maraknya workshop, simposium, atau konferensi disini membuktikan bahwa semakin banyaknya peneliti yang mulai menggeluti bidang DL ini. Proyek penelitian DL pada intinya meneliti bidang pendigitalan dokumen dan pembangunan sistem untuk dokumen digital. Pada pendigitalan dokumen, diteliti tentang bagaimana mendigitalkan dokumen dan jenis penyimpanan digital dokumen baik berupa full text maupun page image. Sedangkan bidang pembangunan sistem pada DL, diteliti tentang pedesainan dan implementasi sistem untuk memanipulasi data pada database, misalnya penelitian arsitektur sistem yang baik untuk DL, baik yang sederhana hingga implementasi teknologi agent dari Artificial Intelligence(AI), dan sebagainya. Penelitian DL berikutnya adalah tentang hak cipta dari dokumen, payment system, customer system dan aplikasi-aplikasi lainnya. Semua aplikasi yang diteliti di arahkan menuju managemen aplikasi berbasis elektronik. Misalnya pada penelitian hak cipta dari dokumen, penelitian diarahkan untuk mengembangkan managemen hak cipta secara elektronik, meskipun tentu saja masih terdapat hambatan terutama pada peraturan hak cipta yang ada. Proyek penelitian DL dewasa ini sudah tersebar di hampir seluruh dunia, dan kali ini akan diuraikan secara singkat proyek penelitian yang ada di Amerika dan Jepang.

B. Penelitian Digital Library di Amerika
1. TULIP Project
Pada tahun 1991, delapan universitas yaitu : Carnegie Mellon University, Cornell niversity,Georgia Institute of Technology, Massachusetts Institute of Technology, University of California, University of Tennesee, University of Washington, Virginia Polytechnic and State University, bersama perusahaan Elsevier Science mengadakan kesepakatan kerjasama penelitian tentang DL yang kemudian terkenal dengan nama TULIP (The University Licensing Project). Proyek TULIP ini adalah mendigitalkan data, dokumen, majalah di bidang Material Science. Tema penelitian utama di proyek TULIP ini adalah sebagai berikut:
1. Sistem pengumpulan dan penyimpanan data
2. Jenis data yang disimpan
3. Promosi dari proyek TULIP
4. Sistem penarikan biaya dari penggunaan DL
5. Teknik pengaksesan DL

2. NSF/ARPA/NASA Project
Pada bulan September 1995, NSF/ARPA/NASA mengeluarkan dana sekitar 25 juta US dolar untuk membiayai enam proyek penelitian DL. Masing-masing proyek penelitian dipusatkan di enam universitas dengan proyek penelitian sebagai berikut :
1. Carnegie Mellon University:Informedia Interactive Online Video Digital Library
2. University of Michigan : The University of Michigan Digital Library (UMDL)
3. University of Illinois at Havana : Interspace
4. University of California at Barkeley : Electronic Enviromental Library
5. Stanford University : Stanford Integrated Digital Library Project
6. University of California at Santa Barbara : Alexandria Digital Library
Proyek penelitian DL dari NSF/ARPA/NASA tersebut boleh dibilang sebagai proyek penelitian yang cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian-penelitian DL di dunia. Hal ini karena didukung oleh peneliti-peneliti di berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, dan juga pemerintah amerika sendiri.
3. National Digital Library Project2
Perpustakaan nasional seperti kita ketahui adalah perpustakaan dengan dokumen yang terlengkap pada suatu negara dan biasanya menyimpan dokumen-dokumen yang sangat penting. Untuk kelancaran distribusi dokumen dan menjaga keawetan dokumen, dimulailah usaha dan penelitian untuk mendigitalkannya. Tidak hanya di Amerika, dibeberapa negara-negara maju misalnya Perancis, Jepang,dan sebagainya usaha membangun DL untuk perpustakaan nasional juga sudah dimulai.

C. Penelitian Perpustakaan Digital di Jepang
1. NACSIS-ELS3
Proyek dikoordinasi oleh MONBUSHO dan diberi nama NACSIS-ELS (National Center for Science Information Systems-Electronic Library Sistem). Data yang disimpan berupa jurnal penelitian, majalah ilmiah, dan data-data yang berhubungan dengan penelitian ilmiah lainnya. Transfer data menggunakan protocol yang merupakan pengembangan dari ANSI Z 39.50, dan software browser menggunakan software browser khusus yang diproduksi sendiri oleh proyek NACSIS-ELS yang dibagikan secara gratis. Masalah yang mendasar pada penelitian NACSIS-ELS adalah sistem penyimpanan data yang menggunakan page image, untuk itu penelitian dilanjutkan dengan tema merubah data page image ke data full text.

D. Masalah Pada Digital Library
1. Masalah Mendigitalkan Dokumen
Pembuatan DL tidak menemui masalah selama dokumen yang diterima berupa file elektronik. Masalah muncul pada saat dokumen yang diterima berupa file non-elektronik, misalnya berupa kertas atau buku. Hal ini merupakan masalah utama yang dibahas pada proyek-proyek penelitian diatas, khususnya dalam pembuatan DL dengan dokumen dari perpustakaan umum atau dari grey literature.
2. Masalah Hak Cipta
Masalah ini sebagian besar terbagi dua :
1. Hak cipta pada dokumen yang didigitalkan. Yang termasuk didalamnya adalah: merubah dokumen ke digital dokumen, memasukkan digital dokumen ke database, merubah digital dokumen ke hypertext dokumen
2. Hak cipta pada dokumen di communication network. Didalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat komputer network belum didefinisikan dengan jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang: hak meyebarkan, hak meminjamkan, hak memperbanyak, hak menyalurkan baik kepada masyarakat umum atau pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer termasuk didalamnya internet, intranet,dan sebagainya. Pengaturan hak cipta pada digital dokumen diatas sangat diperlukan terutama untuk memperlancar proyek DL di dunia. Salah satu wujud nyata adalah penelitian tentang ECSM (Electronic Copyright Management System), yang intinya adalah sistem yang memonitor penggunaan digital dokumen oleh user secara otomatis.
3. Masalah Penarikan Biaya
Hal ini menjadi masalah terutama untuk DL swasta yang menarik biaya untuk setiap dokumen yang diakses. Penelitian pada bidang ini banyak mengarah ke pembuatan system deteksi pengasesan dokumen ataupun upaya mewujudkan electronic money.


BAB III
KESIMPULAN

Pada makalah ini telah diuraikan pengertian DL, proyek-proyek penelitiannya dan masalah-masalah yang masih tersisa dari DL. Meskipun tentu saja proyek DL merupakan proyek yang memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit, tapi tak dapat disangkal lagi keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam menjawab tantangan teknologi informasi menjelang abad 21.
Perpustakaan yang ingin membangun koleksi digitalnya tentunya sudah mempertimbangkan banyak faktor yang dapat menghalangi kelancaran proses pembangunan koleksi digital. Paling tidak harus mempunyai strategi jangka panjang yang dapat mengakomodir segala kebutuhan pengguna tanpa harus merusak hak orang lain. Karena melalui strategi itu juga akan dapat membantu perpustakaan mewujudkan apa yang menjadi harapan lembaga yang menaunginya dan juga sesuai dengan tujuan keberadaan perpustakaan. Namun pada prinsipnya, pengembangan koleksi digital dapat dilakukan secara bertahap dengan melakukan skala prioritas sehingga sedikit demi sedikit perpustakaan akan mempunyai cukup banyak koleksi digital yang dapat menjadi modal bagi pengembangan ‘digital library’.


DAFTAR PUSTAKA

1. Romi Satria Wahono, “Digital Library : Chalenges and Roles Toward 21 st Century”, Proceedings of Tekno’98 Sysmposium, Nagaoka, Japan, 1998
2. Tabata Kouichi, “What is Digital Library”, IPSJ Journal Vol.37 No.9, Japan, 1996. (Japanese)
3. Sugimoto Shigeo, “The Environment and Technology for Implementing Digital Library”, IPSJ Journal Vol.37 No.9, Japan, 1996. (Japanese)
4. Nawa Kotaro, “Digital Library and Copyright”, IPSJ Journal Vol.37 No.9, Japan, 1996. (Japanese)
5. Peter J. Nuernberg, Richard Furuta, John J. Leggett, Chaterine C. Marshall, “Digital Libraries : Issues and Architectures ”, Proceedings of the Digital Libraries '95 Conference, Texas, 1995.
6. Robert Pettengil, Guillermo Arango, “Four lesson learned from managing World Wide Web digital libraries”, Proceedings of the Digital Libraries '95 Conference, Texas, 1995.
7. Avi Silberschatz, Mike Stonebraker, Jeff Ullman, “Database Research : Achievements and Opportunities Into the 21st Century ”, Report of an NSF
8. Workshop on the Future of Database Systems Research, 1995.
9. R.J. McNab, I.H. Witten, and S.J. Boddie, “A Distributed Digital Library Architecture Incorporating Different Index Style”, Advances in Digital Libraries Conference, 1998

Kamis, 14 Mei 2009

PROGRAM PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN BERBASIS KOMPETISI

PROGRAM PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN BERBASIS KOMPETISI
Gagasan Awal

Oleh:
A.C. Sungkono Hadi *)


Pengembangan perpustakaan itu wajib hukumnya. Pengembangan itu harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Namun pendanaan untuk pengembangan perpustakaan itu langka kenyataannya. Oleh karena itu, pendekatannya adalah sistem bergilir berdasarkan kinerja pendekatannya. Maka program hibah kompetisi itu caranya. Dengan adanya kompetisi, maka diperlukan program hibah kompetisi dengan cara proposal dan penilaian proposal, dan Tim Penilai proposal yang selain menilai dokumen proposal, mungkin juga perlu melakukan penilaian lapangan (site evalution). Penilaian lapangan ini dimaksudkan untuk mencocokkan apa yang tertulis dalam dokumen proposal dengan apa yang senyatanya ada di lapangan, dengan maksud untuk mendapatkan kepastian bahwa perpustakaan yang akan diberi dana hibah adalah perpustakaan yang memiliki potensi untuk berkembang dan mampu memanfaatkan dana tersebut sebaik-baiknya.

Jadi pustakawan harus memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi diri atas kondisi dan kemampuan perpustakaannya. Selain itu, juga harus memiliki kemampuan untuk menyusun program pengembangan yang berbasis kompetisi. Sementara itu pada tingkat instansi penyandang dana yang dikompetisikan juga harus tersedia pustakawan (Madya dan Utama) yang memiliki kemampuan untuk menilai dan menyeleksi proposal secara transparan.

Tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai lontaran gagasan awal yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan dalam pengembangan perpustakaan di negeri tercinta ini. Jika diperlukan penjelasan atau uraian yang lebih teknis dan lengkap maka penjelasan itu akan dituangkan dalam artikel atau makalah berikutnya.

Program Hibah (grants) bagi Pengembangan Perpustakaan

Jika dilakukan penelusuran atas dokumen atau kepustakaan tentang program hibah (grants) bagi pengembangan perpustakaan, maka akan diketemukan cukup banyak cantuman dalam internet. Salah satunya adalah Negara Bagian Missouri (Missouri State Government) yang menawarkan berbagai kesempatan kepada perpustakaan-perpustakaan di negara ini untuk meningkatkan layanannya melalui penggunaan anggaran federal bagi Library Services and Technology Act (LSTA) funds. Hibah anggaran ini didasarkan pada prioritas dalam Missouri Five Year State Plan 2003-2008 atau Rencana Lima Tahun Negara Bagian Missouri 2003-2008¹. Hibah ini terbuka untuk perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan khusus, dan perpustakaan sekolah, di Missouri, sekalipun tidak semua jenis hibah tersedia bagi setiap jenis perpustakaan. Untuk itu, pengelola perpustakaan harus mengajukan proposal pengembangannya kepada Secretary of State, melalui LSTA Grant Office.
_____________________

*) Pustakawan Madya Universitas Cendrawasih, Jayapura


Program hibah atau Grant Program ini dapat diakses secara terbuka oleh para pengelola perpustakaan melalui situs http//www.sos.mo gov/library/development/grants.asp. Dengan kata lain, hibah benar-benar tersedia untuk diperebutkan secara bebas.

LSTA Grant Program juga disediakan oleh State Library of North Carolina. Pada seksi Ovieviews dalam situsnya, didaftarkan program-program hibah yang akan disediakan untuk tahun 2007-2008 dan dijelaskan secara singkat jenis-jenis perpustakaan apa saja yang boleh mengikuti setiap program, serta jadwal kegiatan 2007-2008 yang terkait dengan proses penyusunan dan pengajuan proposal. Formulir pengajuan dan petunjuk penulisan proposal juga disediakan di situs, pada seksi Applications and Guidelines (http://statelibrary.dcr.state.nc.us/Ista/2007-2008Grants.htm#Guidelines). Dengan begitu program ini benar-benar terbuka untuk di kompetisikan secara bebas oleh para pengelola perpustakaan yang boleh mengikuti progam (eligible)².

Petunjuk penggunaan dana hibah pada State Library of North Carolina tersebut tersedia dalam situs dengan alamat http://statelibrary.dcr.state.nc.us/gates/gates.htm. Dijelaskan, bahwa sesuai dengan foundation guidelines, 75% dari total dana hibah boleh digunakan dalam dua cara, yakni: (1) pembelian/pengadaan komputer untuk akses internet bagi umum, dan (2) pembelian khusus yang diperlukan untuk meningkatkan kecepatan koneksi internet pada lokasi khusus yang diijinkan. Sedangkan 25% sisanya boleh digunakan untuk meningkatkan pengelolaan komputerisasi untuk akses publik, seperti peningkatan kapasitas server, pengadaan antivirus, dan pembelian lisensi perangkat lunak untuk komputerisasi bagi akses publik, dan lain-lain.

Dua contoh di atas memberi gambaran bahwa pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi merupakan hal yang biasa, bahkan di Negara-negara maju sekalipun. Di Negara tercinta ini memang belum lumrah, kecuali untuk pengembangan perpustakaan perguruan tinggi yang merupakan bagian dari pengembangan institusi induknya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas pernah membuka peluang bagi unit perpustakaan perguruan tinggi untuk memperebutkan dana hibah melalui program Technical and Professional Supports Devolopment Program (TPSDP), Devolopment for Undergraduate Education (DUE), DUE-Like, dan SP4 Plus³. Untuk memenangkan hibah tersebut, unit perpustakaan, yang dimasukkan dalam kelompok/kategori Institusional Support System (ISS) atau University Wide Programs atau Program Cakupan Perguruan Tinggi (PCPT), harus menyusun proposal pengembangan yang didasarkan pada hasil evaluasi diri atas kondisi dan kemajuan hingga saat disusunnya proposal tersebut. Melalui program SP4 Plus, misalnya sebuah unit perpustakaan dapat memperoleh hibah dana pengembangan maksimal sebesar Rp 250.000.000,- per tahun selama 2 tahun anggaran. Pada tahun 2006 yang lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas secara khusus juga meluncurkan Program Hibah Kompetisi Peningkatan Mutu Pendidikan (PHK PMP) bagi perguruan tinggi swasta (PTS), untuk pengembangan laboratorium dan perpustakaan.




Evaluasi Diri

Suatu institusi dalam menyusun rencana pengembangan, harus melakukan evaluasi diri (self evaluation) untuk mengetahui kondisi perkembangan dan kemajuan pada saat ini (state of the art review). Dalam evaluasi diri ini beberapa pendekatan dapat dilakukan, antara lain pendekatan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (KKPA, atau SWOT: strength, weakness, opportunity, dan threat). Analisis ini penting, karena dana hibah yang relatif terbatas itu harus benar-benar dapat dimanfaatkan dengan baik, dan hanya perpustakaan yang memiliki kekuatan dan potensi untuk berkembanglah yang seyogyanya memperoleh dana hibah tersebut.

Analisis KKPA juga dapat dilaksanakan menurut aspek-aspek tertentu yang dianggap penting dalam menilai penyelenggaraan perpustakaan. Sebagai contoh, dalam konteks pengembangan berbasis kompetisi ini, menurut hemat penulis, dapat ditetapkan aspek-aspek pengembangan yang dapat diakronimkan sebagai SO CURELY, dengan penjabaran sebagai berikut:

- Scientific Orientation, perpustakaan harus berorientasi kepada pengembangan suasana keilmuan, yang tercermin dari komprehensivitas bidang ilmu yang di koleksikannya, kemuktahiran, kerelevansian dan pemanfaatan kemajuan pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi, baik dalam pengelolaan aset maupun dalam penyelenggaraan layanan.

- Comprehensiveness, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya mencakup seluruh bidang ilmu secara proporsional; selain itu, juga ada komitmen untuk menyediakan sumber-sumber informasi dalam berbagai media, sehingga informasi benar-benar tersedia secara komprehensif.

- Uptodateness, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya mutakhir, antara lain ditandai dengan mudanya tahun penerbitan.

- Relevancy, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya sesuai dengan kebutuhan pengguna, baik atas dasar kebijakan pengadaan yang ditetapkan maupun berdasarkan studi identifikasi kebutuhan yang dilaksanakan secara berkala.

- Efficiency and effectiveness, perpustakaan selalu mengupayakan agar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan layanannya dilaksanakan secara efisien dan efektif, mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada secara cost-effective.

- Leadership, pengelolaan dan penyelenggaraan layanan perpustakaan harus didasarkan pada sistem manajemen yang jelas, dengan kepemimpinan yang kuat berdasarkan perencanaan yang strategis; kepemimpinan di sini bukan hanya kepemimpinan individual yang disandang oleh para pejabat struktural, namun juga kepemimpian kolektif yang dapat dilihat dari kekompakan, hubungan baik antara pimpinan dan staf, kerjasama, dan kebulatan-tekad (commitment) seluruh karyawan dalam perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Dalam rumusan lain, aspek ini mungkin dapat disebut sebagai budaya organisasi yang mengutamakan kekompakan kerjasama, dan komunikasi yang baik dan produktif antar semua karyawan.
- Trendy, perpustakaan harus senantiasa mengikuti tuntutan kemajuan iptek, mengikuti trend atau kecenderungan terbaru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tentu saja sangat dimungkinkan untuk menetapkan aspek-aspek pengembangan lain yang dianggap paling dibutuhkan, atau yang memiliki tingkat prioritas tinggi.

Proposal Pengembangan

Jika suatu perpustakaan dapat melakukan evaluasi diri secara lengkap, kemudian hasil evaluasi diri-nya secara jelas dapat menemukenali aspek-aspek kekuatan dan kelemahan internal, serta aspek-aspek peluang dan tantangan eksternal, maka perpustakaan itu akan dapat menemukenali masalah-masalah dan akar permasalahannya yang perlu ditangani. Hasil ini menjadi dasar bagi perencanaan program pengembangan ke depan berdasarkan skala prioritas dan urgensinya. Program pengembangan yang direncanakan seyogyanya didasarkan pada cara pendekatan atau strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi kelemahan (strategi SW), memanfaatkan peluang untuk mengatasi kelemahan (strategi OW), menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman (strategi ST), dan memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman (strategi OT). Kesemuanya itu dituangkan dalam sebuah proposal pengembangan yang dikompetisikan.

Agar kesempatan mengajukan proposal pengembangan ini terbuka secara adil kepada setiap perpustakaan dalam kategori yang sama, maka seyogyanya dikembangkan suatu pedoman atau guideline untuk penyusunan proposal yang diharapkan. Dalam guideline tersebut selain dikemukakan sistematika proposal, juga perlu dijelaskan langkah-langkah penyusunannya, termasuk langkah-langkah dalam melakukan evaluasi diri (termasuk aspek-aspek penting yang harus dievaluasi), menyusun laporannya, serta cara-cara menggunakan laporan hasil evaluasi diri tersebut dalam penyusunan proposal pengembangan.

Selain itu, guideline juga harus menjelaskan bentuk-bentuk program/kegiatan pengembangan yang dapat diusulkan (eligible), berikut rincian dananya untuk setiap program. Program hibah pada Negara bagian Missouri di atas, misalnya menyediakan berbagai bentuk program hibah yang disediakan. Salah satu di antaranya adalah Career Development Grant. Program hibah ini menyediakan bantuan finansial bagi staf perpustakaan dan badan pengelola perpustakaan umum untuk mengikuti pendidikan lanjutan dan/atau pelatihan, manakala anggaran lokal tidak mencukupi untuk membiayai seluruhnya. Kegiatan yang diijinkan meliputi lokakarya baik tingkat regional, tingkat Negara bagian, maupun tingkat nasional; konferensi, seminar atau program pengembangan karier lainnya yang ditawarkan oleh asosiasi profesi, atau badan layanan umum non-profit lainnya. Kegiatan lainnya yang bisa diikuti adalah kursus berbasis web (Web-based instructional courses), dan pelatihan teknis atau pelatihan khusus yang ditawarkan oleh penyedia layanan non-profit.






Dalam kaitan dengan prinsip SO CURELY di atas, maka bentuk program/kegiatan pengembangan yang dapat diusulkan, antara lain:

1. Pengembangan koleksi, yang sekaligus mencakup peningkatan Scientific Orientation, Comprehensiveness, Up-to-dateness, dan Relevancy; namun, jika anggaran rutin untuk pengembangan koleksi sudah cukup besar, sebaiknya dana hibah ini digunakan untuk pengembangan lainnya yang tidak bisa didanai dari anggaran rutin.

2. Pengembangan sistem pengelolaan dan pelayanan, yang mencakup aspek efficiency and effectiveness serta aspek trendy; dalam era pemanfaatan teknologi informasi dewasa ini, pengembangan sistem jaringan merupakan tuntutan pengembangan yang mendesak.

3. Pengembangan ketenagaan, baik melalui pendidikan gelar maupun pendidikan non-gelar yang tentunya terkait dengan peningkatan kualitas Leadership kepemimpinan kolektif dalam penyelenggaraan perpustakaan.

Dalam setiap program pengembangan tersebut dapat dicakup berbagai kegiatan atau sub-program yang terkait. Dalam pengembangan koleksi misalnya, dapat diusulkan pengadaan jenis-jenis koleksi tertentu, perawatan/perbaikan, dan pelestarian (alih media). Dalam pengembangan sistem dapat diusulkan pengembangan layanan baru, pengadaan perangkat sistem otomasi, atau pendidikan pengguna. Dan dalam pengembangan ketenagaan dapat diusulkan pengiriman tenaga untuk mengikuti diklat, penyelenggaraan kursus/pelatihan internal, studi banding, atau juga pengiriman tenaga untuk studi lanjut bidang perpustakaan. Namun jika masa berlangsungnya program hibah ini memungkinkan untuk mendukung pembiayaan program pendidikan gelar, maka seyogyanya dana hibah digunakan hanya untuk program-program pendidikan non-gelar, termasuk penyelenggaraan lokakarya dengan mendatangkan tenaga ahli dari institusi perpustakaan yang lebih maju.

Penyandang Dana

Jika semua pihak mematuhi ketentuan tentang Perpustakaan Nasional RI, maka jelaslah bahwa penanggung jawab atas semua upaya pengembangan perpustakaan di negeri ini adalah Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pemerintah non departemen (LPND). Apalagi jika nanti Undang-Undang tentang Perpustakaan telah disahkan, maka Perpustakaan Nasional RI sebagai LPND bidang perpustakaan jelas menjadi penanggung jawab atas semua upaya pengembangan perpustakaan pada tataran nasional. Oleh karena itu, penyandang dana untuk pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini semestinya juga Perpustakaan Nasional RI.









Dalam bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa dana untuk pengembangan perpustakaan termasuk kategori langka, bukan hanya terbatas. Maka pada tahap pertama Perpustakaan Nasional RI dapat menetapkan pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini hanya berlaku bagi perpustakaan umum saja. Bahkan, jika ternyata ada beberapa tataran kondisi perkembangan dan kemajuan perpustakaan umum di seluruh wilayah negeri ini, maka Perpustakaan Nasional RI bisa menetapkan kompetisi ini hanya terbuka bagi perpustakaan umum tipe atau kondisi tertentu, misalnya: yang koleksinya kurang dari sekian ribu, atau yang terletak di luar jawa, atau pembatasan yang lainnya. Dengan pembatasan demikian maka perpustakaan yang tidak termasuk kategori yang ditetapkan tidak akan diperbolehkan mengikuti kompetisi.

Dengan penetapan semacam itu, maka pihak penyandang dana telah dapat merencanakan kebutuhan anggaran pengembangan yang akan di kompetisikan, misalnya untuk sekian perpustakaan masing-masing sekian juta, untuk sekian tahun anggaran. Dengan demikian diharapkan bahwa dana yang disediakan/dianggarkan bukan hanya dibagi rata ( karena mungkin pembagiannya menjadi relatif kecil) tanpa ada jaminan pasti bahwa dana itu bermanfaat secara cost-effective bagi pengembangan perpustakaan, melainkan diberikan kepada perpustakaan yang memang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berkembang.

Program pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini mungkin merupakan hal baru, kecuali bagi perpustakaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, jika program ini benar-benar akan dilaksanakan, pihak penyandang dana juga perlu melakukan pelatihan dan sosialisasi secukupnya. Hal itu penting, agar maksud dan tujuan program ini benar-benar tercapai.

Jika Gayung Bersambut …

Sebagaimana dikemukakan dalam judul di atas, lontaran ide pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini masih bersifat gagasan awal. Gagasan ini, sejujurnya, dikembangkan berdasarkan pengalaman penulis mengikuti dan menjadi reviewer atas program pengembangan perguruan tinggi berbasis kompetisi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Penulis melihat bahwa sistem hibah kompetisi tersebut sangat bagus, memotivasi dan menantang institusi perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat. Budaya kompetisi yang sehat seperti itu memang perlu terus di kembangkan, agar pendanaan yang relatif tidak cukup besar dapat digunakan secara cost effective oleh institusi yang memang mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memanfaatkannya.

Jika gagasan tersebut bersambut, tentu saja diperlukan tindak lanjut yang mencakup berbagai tahapan persiapan/perencanaan. Untuk itu pihak Perpustakaan Nasional RI, khususnya Biro Perencanaan, perlu melakukan sejumlah kegiatan kaji-tindak, antara lain penyusunan guideline, sosialisasi, dan pengangkatan sejumlah reviewer untuk menilai proposal yang akan masuk.

Semoga melalui pola pengembangan berbasis hibah kompetisi ini tingkat kemajuan dan perkembangan perpustakaan di negeri ini semakin tinggi dan merata. Dengan demikian misi utama perpustakaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sungguh-sungguh dapat dilaksanakan dengan relatif mudah dan cepat.
Daftar Sumber :

¹Diturunkan dari http://www.sos.mo.gov/library/Ista_03-08.pdf

²Diturunkan dari http://statelibrary.dcr.state.nc.us/gates.htm

³Diringkaskan dari informasi pada http://dikti.org/phk/

Perpustakaan dan Demokrasi

Oleh : Putu Laxman Pendit
Di Postkan Oleh : Darwanto S,Sos

Salah satu tesis yang paling banyak dipegang oleh pengamat perpustakaan –terutama perpustakaan umum– adalah bahwa institusi ini hanya bisa tumbuh dalam suatu masyarakat yang demokratis. Salah satu negara yang dianggap sebagai pemrakarsa perpustakaan umum sebagai institusi demokrasi adalah Amerika Serikat.

Anggapan yang barangkali terdengar sangat optimistis adalah bahwa perpustakaan umum merupakan “arsenals of a democratic culture“, dikedepankan oleh Sidney H. Ditzion yang meneliti sejarah pertumbuhan perpustakaan umum di Amerika Serikat. Bersama Jessa Shera, Ditzion kemudian dikenal sebagai cendekiawan AS pertama yang “menemukan” tempat perpustakaan umum dalam pertumbuhan tradisi demokrasi. Ia mengutip pernyataan presiden AS, Franklin D. Roosevelt, yang mengatakan, “Perpustakaan secara langsung terlibat dalam konflik yang kini membelah dua dunia kita, karena dua alasan: pertama, perpustakaan merupakan hal yang esensial dalam masyarakat demokratik; kedua, karena konflik saat ini menyangkut integritas kecendekiawanan, kebebasan berpikir, dan bahkan kelangsungan sebuah kebudayaan; dan perpustakaan adalah sarana yang luar-biasa bagi kecendekiawanan, pemelihara kebudayaan, dan simbol megah dari adanya kebebasan berpikir.”

Menurut Ditzion salah satu unsur penting yang mendorong kelahiran “perpustakaan untuk semua orang” atau “perpustakaan-perpustakaan umum yang bebas” (free public libraries) adalah protes terbuka terhadap adanya “perpustakaan berkelas” (class libraries) yang diperuntukkan bagi sejumlah terbatas elit cendekiawan. Salah satu contohnya adalah pada suatu masa di tahun 1815-an, seorang bernama Joshua Bates mendesak masyarakatnya agar menyediakan ruang baca bagi orang awam yang sama nyamannya dengan yang disediakan untuk orang-orang terpelajar. Fasilitas seperti itu akan mempertemukan “the humblest and the highest” seperti halnya pemilihan umum mempertemukan suara mereka pada tingkatan yang sederajat.

Ditzion juga mengaitkan perkembangan perpustakaan umum dengan kebangkitan kaum pekerja, dengan contoh sebuah perpustakaan yang didirikan di Pacific Mills, sebuah pabrik di kota Lawrence, Massachussets. Perpustakaan ini diperuntukkan bagi para pekerja pekerja pabrik, sehingga tidak bisa dikatakan perpustakaan umum. Tetapi Ditzion menggarisbawahi filosofi yang mendasari pendiriannya, dan menyimpulkan bahwa konsep “universitas untuk para pekerja” (the workingman’s university) adalah landasan utama pendirian perpustakaan di pabrik-pabrik. Selanjutnya, ia juga menguraikan betapa kemudian muncul dermawan-dermawan yang mendukung filosofi ini secara finansial. Filosofi ini penting bagi pertumbuhan demokrasi, dan dianggap memungkinkan suatu kelompok dalam masyarakat meningkatkan diri mereka sejajar dengan kelompok-kelompok lainnya.

Interpretasi progresif yang dilakukan Ditzion dan Sherra terhadap sejarah perpustakaan umum AS bukan tanpa kritik. Pada akhir era 1970-an, tiga sejarahwan lain (Dee Garrison, Michael Harris, dan Rosemary DuMont) mengkritik dua pendahulu mereka dengan mengatakan bahwa anggapan tentang perpustakaan umum sebagai lembaga demokrasi terlampau optimistis. Menurut ketiganya, sejarah kelahiran perpustakaan umum dalam era-era yang dikaji Ditzion tetap memperlihatkan suatu upaya hegemoni kultural oleh salah satu kelas dalam masyarakat terhadap kelas lainnya, selain upaya kontrol sosial oleh kelas yang waktu itu berkuasa.

Tetapi baik Ditzion maupun pengkritiknya sebenarnya juga hanya memperhatikan perkembangan perpustakaan umum. di daerah-daerah perkotaan (urban) dan luput mencermati perkembangan di pedesaan (rural). Para sejarawan itu mengamati pembangunan institusi kultural di kota-kota besar, yang notabene dimotivasi oleh keinginan membangun monumen di kalangan individu-individu tertentu. Dengan kekayaan yang berlimpah dan tindakan-tindakan yang sering kontroversial, para orang kaya dermawan ini memang menjadi subjek yang amat menarik bagi para sejarawan untuk diamati. Dengan latar ini, perpustakaan-perpustakaan umum yang banyak dibangun dengan bantuan para milyuner dermawan, segera diidentifikasi sebagai institusi demokratis.

Di luar institusi-institusi megah di kota besar, sebagian besar perpustakaan umum justru dibangun di desa-desa, dan ini sering luput dari pengamatan. Ketika dilakukan pengamatan terhadap kondisi di desa-desa AS pada saat pertama kali mengenal perpustakaan umum, terlihatlah bahwa di satu sisi interpretasi optimistik Ditzion harus diperlunak, tetapi di sisi lain kritik yang mengatakan bahwa perpustakaan umum semata-mata lahir karena ada kaum elit yang ingin mengendalikan massa di bawahnya, juga harus ditolak.

Contoh kasusnya adalah perpustakaan umum yang didirikan pada awal tahun 1900-an di Hagerstown di Maryland, sebuah desa kecil yang sampai sekarang tetap adalah desa para petani. Fenomena di desa kecil ini, yang juga terjadi di desa-desa lainnya di AS pada waktu yang hampir sama, menggugat pernyataan bahwa hanya orang-orang dengan pemikiran tentang kontrol sosial saja yang berinisiatif mendirikan perpustakaan umum. Di Hagerstown, perpustakaan umum didirikan dengan tujuan murni untuk pendidikan rakyat banyak, sejalan dengan pernyataan Andrew Carnegie yang dipopulerkan pada saat itu, “the true university of these days is a collection of books“. Carnegie adalah seorang imigran miskin dari Inggris yang menjadi milyuner AS, dan yang bersikeras bahwa kesuksesannya “naik kelas” adalah karena dia bisa membaca buku-buku di perpustakaan umum.

Selain contoh sukses Carnegie, rupanya perpustakaan umum di Hagerstown juga didorong oleh kemunculan profesi pustakawan yang waktu itu oleh promotornya, Melvil Dewey, dinyatakan sebagai profesi yang harus melancarkan fungsi perpustakaan umum sebagai institusi pendidikan untuk orang banyak. Dewey menyetarakan “the free library” dengan “the free school” sebagai sebuah gerakan budaya besar-besaran di AS waktu itu, untuk membantu jutaan penduduk miskin “naik kelas” lewat peningkatan pendidikan. Gerakan ini tentu bisa dihubungkan dengan upaya negara itu untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individunya punya kesempatan mengembangkan diri lebih lanjut, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan politik. Pendek kata, untuk demokratisasi.

Dus, walaupun tidak bisa seoptimistis Ditzion dan Sherra, sejarah perpustakaan umum di AS tetap bisa ditunjuk sebagai indikator dari eratnya hubungan antara pendirian insitusi ini dengan proses demokratisasi sebuah masyarakat. Selain itu, pertumbuhan pesat perpustakaan umum di AS juga bisa dihubungkan dengan tiga fenomena lainnya, yaitu kebangkitan asosiasi para pekerja, perjuangan kelas yang menajam, dan munculnya asuransi masyarakat. Asosiasi-asosiasi yang berkesan “kelas menengah”, seperti kelompok pekerja, kelompok wanita, kelompok religius dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya juga banyak dihubungkan dengan pendirian berbagai perpustakaan umum di AS. Kelompok-kelompok bisnis independen, dalam rangka memenuhi kepentingan bisnis yang bebas terbuka, juga mendukung pertumbuhan perpustakaan-perpustakaan umum.

Nah, bagaimana dengan di Indonesia. Apakah “perpustakaan umum” kita adalah institusi demokratis? Apakah konsep dan kegiatannya mencerminkan demokratisasi, atau lebih memperlihatkan otokrasi dan kekuatan negara-intergralistik yang berlebihan? Apakah peran “kelas menengah” Indonesia cukup penting dalam pertumbuhannya?

Tidak pada tempatnya membandingkan AS dan Indonesia tercinta. Tetapi apa yang terjadi di negara itu patut jadi pelajaran bagi bangsa yang sedang membangun ini.

Perpustakaan Digital dan Automasi Perpustakaan

Oleh : Darwanto S,Sos
sumber : almaipii yogyakarta


adalah satu tema populer beberapa tahun belakangan ini di dunia dokumentasi adalah tentang perpustakaan dijital (digital library). Tema ini populer seiring dengan makin maraknya penerbitan elektronik dan mudahnya orang untuk membuat dokumen elektronik. Di Indonesia, sistem perpustakaan dijital banyak diterapkan di perpustakaan perguruan tinggi. Ini dapat dimaklumi karena perguruan tinggi mempunyai banyak konten berharga seperti skripsi, tesis dan disertasi.

Untuk membangun sistem perpustakaan dijital, ada banyak aplikasi yang bisa digunakan, baik yang komersial maupun yang OpenSource. Di Indonesia, yang paling populer adalah Ganesha Digital Library (GDL) dengan lisensi GNU/GPL (www.gnu.org). GDL dibuat oleh KMRG (Knowledge Management Research Group) ITB. Sosialisasi GDL dilakukan dengan membuat inisiatif yang diberi nama Indonesia Digital Library Network (IndonesiaDLN). Sayangnya gaung inisiatif ini tidak lagi sekencang dulu.

Setelah sekian lama implementasi perpustakaan dijital di Indonesia, ada beberapa kesalahkaprahan terjadi yang menarik untuk didiskusikan.

Pertama, ternyata masih banyak orang (termasuk para pustakawan) yang belum bisa membedakan dan masih mencampuradukkan antara konsep “Perpustakaan Dijital” dengan “Automasi Perpustakaan” (library automation). Penulis pernah dimintai tolong untuk memberikan demo aplikasi perpustakaan dijital, ternyata yang diinginkan adalah aplikasi automasi perpustakaan. Seorang teman penulis –seorang web programmer– memberi nama aplikasi buatannya sebagai digital library, padahal yang dibuat hanyalah katalog terpasang (online catalog).

Sebenarnya apa perbedaan mendasar sistem automasi perpustakaan dengan perpustakaan dijital? Sistem automasi perpustakaan adalah implementasi teknologi informasi pada pekerjaan-pekerjaan administratif di perpustakaan agar lebih efektif dan efisien. Apa saja yang termasuk pekerjaan administratif di perpustakaan. Diantaranya: pengadaan, pengolahan, sirkulasi (peminjaman, pengembalian), inventarisasi, dan penyiangan koleksi, katalog terpasang, manajemen keanggotaan, pemesanan koleksi yang sedang dipinjam, dan lain-lain. Sedangkan sistem perpustakaan dijital adalah implementasi teknologi informasi agar dokumen dijital bisa dikumpulkan, diklasifikasikan, dan bisa diakses secara elektronik. Secara sederhana dapat dianalogikan sebagai tempat menyimpan koleksi perpustakaan yang sudah dalam bentuk dijital.

Kedua adalah masalah aksesibilitas. Sistem perpustakaan dijital dirancang agar koleksi perpustakaan lebih mudah diakses dan jangkauan aksesnya lebih luas. Yang terjadi di Indonesia, koleksi dijital justru lebih sulit diakses daripada koleksi tercetak (printed). Bukan karena keterbatasan infrastruktur, tetapi karena kebanyakan pengelola perpustakaan dijital masih takut atau bahkan “tak rela” orang lain bisa membaca koleksi dijitalnya.

Penulis sempat mengamati kegiatan pembangunan sistem perpustakaan dijital di sebuah perpustakaan perguruan tinggi. Dukungan pengelola universitas dari sisi dana sangat baik, tapi sekarang proyek tersebut mandek karena belum ada surat keputusan dari pengelola perguruan tinggi tentang siapa saja yang berhak membaca dan mendownload koleksi tersebut. Jadi sampai sekarang praktis tidak ada satu orang pun (kecuali administrator sistem) yang bisa membaca koleksi dijitalnya. Padahal koleksi yang dimasukkan sudah cukup banyak.

Penulis sempat mengusulkan agar segera dibuka akses minimal untuk lingkup perguruan tinggi itu saja, toh dari sisi keamanan sudah ada fitur user authentication built-in dan kalau mau bisa ditambahkan filtering di level alamat IP (Internet Protocol). Tetapi pihak pengelola perguruan tinggi masih khawatir dengan masalah copyright dan plagiarisme bila akses diberikan, meskipun hanya untuk lingkup universitas. Sebuah alasan yang tidak argumentatif. Plagiarisme sudah ada sejak dulu, ketika format dijital belum populer bahkan mungkin belum ada. Apapun bentuk media yang digunakan, plagiarisme akan selalu ada. Justru perpustakaan dijital bisa membantu mengurangi plagiarisme dengan cara memberikan akses informasi ke banyak orang, sehingga orang lain tahu siapa sudah mengerjakan apa. Lagipula, sebagai sebuah perguruan tinggi yang didanai oleh publik, seharusnya publik juga punya hak untuk mendapatkan akses hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi tersebut.

Ketiga, masalah manajemen pengembangan sistem. Implementasi sistem perpustakaan dijital merupakan hal yang kompleks dan rumit. Karena itu perlu perencanaan yang matang, mulai dari white papers, spesifikasi fungsional sistem, model bisnis, manajemen teknologi, isu legal, manajemen sumberdaya manusia, prosedur, dan lain-lain. Sayangnya banyak implementasi perpustakaan dijital di Indonesia tidak memperhatikan hal-hal ini. Sehingga sering implementasi akhirnya mandek karena adanya hal-hal yang belum bisa diselesaikan di fase awal implementasi. Seringpula implementasi perpustakaan dijital dilakukan tanpa mendapatkan dukungan penuh dari institusi induknya. Implementasi perpustakaan dijital bukan merupakan hal mudah, terlebih lagi ia melibatkan banyak pihak. Supaya berhasil, harus mendapat dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait, dan yang tidak kalah penting adalah model bisnisnya harus jelas serta terdokumentasi.

Beberapa Isu Yang Patut Diperhatikan
Terkait dengan beberapa kesalahkaprahan diatas, ada beberapa isu yang patut diperhatikan terkait dengan implementasi sistem perpustakan digital.

Pertama, para pengelola sistem perpustakaan dijital hendaknya mengetahui esensi perpustakaan dijital. Yaitu agar koleksi perpustakaan lebih mudah diakses dan jangkauan aksesnya lebih luas. Karena itu adalah salah besar kalau perpustakaan dijital jadi lebih sulit diakses oleh pemakai perpustakaan, dengan alasan apapun.

Kedua, isu legal. Para pengelola sistem perpustakaan dijital hendaknya memahami secara jelas masalah legal terkait dengan konten dijital yang dimasukkan kedalam sistem perpustakaan dijital. Selain kompleks, isu ini juga selalu merupakan isu utama dalam implementasi perpustakaan dijital di Indonesia. Permasalahan utama implementasi perpustakaan dijital di Indonesia bukanlah pada sisi teknologi, tapi pada sisi non-teknologi. Sulitnya, seringkali para pengelola perpustakaan terlalu banyak berdiskusi berkutat hanya pada isu legal dan melupakan isu penting lainnya. Seolah-olah legal merupakan isu yang paling utama. Ketika masalah legal tidak kunjung selesai, akhirnya dibiarkan menggantung, sehingga terkesan tidak serius. Hendaknya sistem perpustakaan dijital yang dibuat nantinya, sudah punya dasar hukum yang jelas, sehingga nanti sistem tersebut tidak mandek lagi menunggu kepastian hukum mengenai dokumen dijital yang disertakan. Akan lebih baik bila institusi lain yang berhasil menerapkan sistem perpustakaan dijital, mau berbagi pengetahuan mengenai best practice yang telah dilakukan. Masalah krusial implementasi sistem perpustakaan dijital tidak hanya pada masalah legal, tetapi juga pada masalah sosial seperti bagaimana sistem perpustakaan dijital mampu meningkatkan antusiasme pemakai perpustakaan untuk terus produktif belajar, menghasilkan pengetahuan baru, dan mau berbagi pengetahuan.

Ketiga, terkait dengan isu pertama, tujuan utama perpustakaan digital bukan sebagai sarana preservasi koleksi. Koleksi dijital justru lebih rentan kehilangan data dan terjadinya inkompatibilitas. Untuk mengatasi masalah ini, isu-isu berikut ini harus diperhatikan.

Keempat, isu teknologi. Terkait dengan isu ketiga, maka masalah teknologi perlu mendapat perhatian serius. Media tempat menyimpan informasi digital selalu mengalami degradasi dan bisa rusak tanpa pemberitahuan sama sekali. Perangkat keras dan lunak seringkali ketinggalan zaman tanpa kita sadari. Karena itu perlu diperhatikan manajamen daur hidup (lifecycle management) koleksi dijital yang disimpan.

Kelima, isu manajemen konten dijital. Semakin besar volume dan kompleksitas dokumen dijital, maka akan mulai timbul masalah, diantaranya: pemeliharaan koleksi, temu kembali informasi (information retrieval), dan klasifikasi. Solusi yang bisa dilakukan antara lain: pembuatan prosedur standar untuk pemeliharaan koleksi, pemeliharaan sistem temu kembali informasi (perbaikan algoritma), dan pembuatan tesaurus.